Zamzam
adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada di Masjidil-Haram di sebelah
timur Ka’bah.
Adapun
asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma – dari sebuah
hadits yang panjang – bahwasannya Hajar ibu Isma’il rahimahumallah ketika
merasa dahaga, ia dan anaknya (Isma’il) mencari air. Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma berkata :
فَلَمَّا أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةَ سَمِعَتْ صَوْتًا
فَقَالَتْ : (صَهٍ) - تُرِيْدُ نَفْسَهَا - ثُمَّ تَسَمَّعَتْ أَيْضًا فَقَالَتْ :
قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ غِوَاثٌ، فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ
مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ - أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ - حَتَّى ظَهَرَ
الْمَاءَ، فَجَعَلَتْ تَحُوْضُهُ وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ
مِنَ الْمَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَ مَا تَغْرِفُ. قَالَ ابنُ
عَبَّاس : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَرْحَمُ اللهُ
أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ - أَوْ قَالَ : لَوْ لَمْ تَغْرِفْ
مِنَ الْمَاءِ - لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا. قَالَ : فَشَرِبَتْ
وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا.
“Maka
ketika berada di Marwah, ia mendengar suara : ‘Diamlah’ – suara tersebut
tertuju pada dirinya - . Kemudian Hajar ingin mendengarkan lagi dengan seksama,
dan akhirnya ia pun mendengarnya. Hajar berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah
memperdengarkan kepadaku, adakah bantuan darimu ?’.
Ternyata
ia adalah malaikat[1] yang berada di tempat zamzam. Maka
malaikat itu mencari sumber air dengan tumitnya – atau : sayapnya – hingga
keluarlah air. Lalu Hajar membuat kolam[2], ia berkata dengan tangannya begini, dan
kemudian ia mulai menggayung air untuk meminumnya. Hal tersebut dilakukan dengan
cepat setelah menggayung”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Semoga Allah merahmati Isma’il, seandainya saja ia
membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka air zamzam akan
mengalir terus”.[3] “Maka ia meminum airnya dan menyusui
bayinya”.[4]
Air
zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh penduduk Makkah hingga kabilah
Jurhum[5] meremehkan kehormatan Ka’bah dan negeri
Haram, sehingga tempat keluarnya air zamzam tersebut menghilang. Ada yang
berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur sumber air zamzam tersebut
ketika mereka pergi ke Makkah, dan ada juga yang mengatakan bahwa sumber air
zamzam terkubur oleh banjir. Hal ini terus berlanjut masa demi masa hingga
akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul-Muthallib bin Hasyim – kakek Nabi
shallllaahu ‘alaihi wa sallam – dengan mengetahui berbagai tanda hingga
diketahui tempatnya; yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat
tidurnya, lalu ia diperintahkan untuk menggalinya. Maka digalilah tempat yang
ditunjukkan tersebut hingga terpancarlah air zamzam tersebut.[6]
Sesungguhnya
sejak masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum
muslimin sangat memperhatikan zamzam.[7] Para khalifah dan para ulama serta para
pemimpin kaum muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam, merenovasi, dan
memeliharanya dengan baik agar jama’ah haji dan para peziarah negeri Haram
mendapatkan pahala kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.
Adapun
sebab air tersebut dinamakan dengan zamzam adalah karena faktor banyak dan
melimpahnya. Dan kata zamzam menurut orang ‘Arab bermakna melimpah dan
mengumpul. Ada yang berpendapat lain, yaitu karena Hajar – ibnu Isma’il –
mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia membuat semacam kolam. Ada
juga yang berpendapat lain, yaitu karena suara airnya yang bergemuruh dan
meluap-luap ketika keluar. Dan pendapat-pendapat yang lainnya.[8]
Air
zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada keagungan dan keutamaannya,
diantaranya adalah : Maimuunah, Mubaarakah, ‘Aafiyyah, dan Maghdziyyah.[9]
Keistimewaan
Air Zamzam
Diantara
keistimewaan zamzam dan keberkahannya adalah bahwa Allah ta’ala telah
mengistimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting
adalah :
1.
Air
zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at agama
maupun kesehatan.
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ
زَمْزَمَ...
“Sebaik-baik
air di muka bumi adalah air zamzam…”.[10]
Dan
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu – pada
kisah Isra’ Mi’raj – bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَفَرَّجَ صَدْرِيْ،
ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمْزَمَ....
“Maka
Jibril ‘alaihis-salaam turun dan membelah dadaku, kemudian ia mencucinya dengan
air zamzam….”.[11]
Al-‘Aini
rahimahullah berkata :
وهذا يدل قطعا على فضلها، حيث اختص غسل صدره عليه الصلاة
والسلام بمائها دون غيرها
“Hal
ini menunjukkan dengan pasti keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi
‘alaihish-shalaatu was-salaam dikhususkan dengan air zamzam, tanpa
selainnya”.[12]
Oleh
karena itu, Sirajjudin Al-Bulqini[13] berkata :
إن ماء زمزم أفضل من ماء الكوثر، معللا ذلك بكونه غسل النبي صلى
الله عليه وسلم، ولم ليغسل إلا بأفضل المياه.
“Sesungguhnya
air zamzam lebih baik dibandingkan air Al-Kautsar dengan dasar karena dipakai
untuk mencuci dada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah dada
beliau dicuci kecuali dengan air yang terbaik”.[14]
Secara
lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di
dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air (telaga)
Al-Kautsar termasuk yang menyangkut hari akhir. Oleh karena itu, tidak dapat
dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia.[15] Sebagaimana hadits yang memuliakannya :
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam” ; menunjukkan hal
tersebut. Wallaahu a’lam.
Al-Haafidh
Al-‘Iraqiy[16] rahimahullah menyebutkan bahwa
hikmah di balik pencucian dada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
air zamzam adalah agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat
dalam memandang malaikat-malaikat langit dan bumi, surga dan neraka; karena dari
keistimewaan air zamzam bahwasannya ia dapat lebih meneguhkan hati dan
menentramkan perasaan.[17] Dan akan lebih jelas – insya
Allah – pada apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi
kedokteran (medis).[18]
2.
Mengeyangkan
peminumnya seperti makanan.
Telah
shahih sebuah riwayat pada Shahih Muslim dalam kisah Abu Dzarr
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk
Islam, ia menetap di sana selama 30 hari antara malam dan siang di dalam
Masjidil-Haraam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya : “Siapakah yang telah memberimu makan ?”. Ia (Abu Dzarr)
menjawab : “Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zamzam, lalu aku menjadi
gemuk dan berlemak,[19] perutku berlipat-lipat, aku tidak
mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku”.[20] Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya
ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga) merupakan makanan yang
berselera”.[21]
Ibnul-Atsir
berkata :
أي يشبع الانسان إذا شرب ماءها كما يشبع من الطعام
“Sesuatu
yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari
makanan”.[22]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata tentang kekhususan air zamzam ini :
شاهدت من يتغذا به الأيام ذوات العدد قريبا من نصف الشهر، أو
أكثر، ولا يجد جوعا، ويطوف مع الناس كأحدهم، وأخبرني أنه ربما بقي عليه أربعين
يوما، وكان له قوة يجامع بها أهله، ويصوم ويطوف مرارا.
“Aku
menyaksikan sebagian orang yang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir
setengah bulan atau lebih dari itu, ia tidak merasa kelaparan. Ia mengikuti
thawaf bersama orang-orang. Dikhabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap
seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan
jima’ dengan istrinya, puasa, dan thawaf berkali-kali”.[23]
3.
Berobat
dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan
hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ
طَعَامُ الطُّعْمِ، وَشِفَا الْسُّقْمِ.
“Sebaik-baik
air di muka bumi adalah air zamzam. Di dalamnya terdapat makanan yang diinginkan
dan obat bagi penyakit”.[24]
Dan
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
زَمْزَمُ طَعَمُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Air
zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari penyakit”.
[25]
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ الْحُمَى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَبْرِدُوْهَا بِمَاءٍ
زَمْزَمَ.
“Sesungguhnya
sakit demam itu termasuk dari panasnya api neraka Jahannam. Maka dinginkanlah
dengan air zamzam”.
[26]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah menjelaskan :
وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا عجيبة،
واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله
“Sesungguhnya
aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya; yaitu berobat dengan air zamzam
(sungguh) hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit
dengan ijin Allah ta’ala”.[27]
4.
Bahwasannya
air zamzam itu adalah menurut niat peminumnya.
Diriwayatkan
oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air
zamzam itu menurut apa yang diinginkan peminumnya”.[28]
Diriwayatkan
dari Mujaahid[29] rahimahullah, bahwasannya ia
pernah berkata :
ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن شربته
لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam menurut niat peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka
Allah akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah
akan memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah
akan mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril[30] dan pemberian (air minum) Allah kepada
Isma’il”.[31]
Sesungguhnya
ulama-ulama besar dan yang lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud yang
berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menghapal hadits,
karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu kegemaran
memanah, sebagai penangkal dahaga pada hari kiamat kelak, serta berbagai manfaat
dunia dan akhirat lainnya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka minta
sesuai dengan niat mereka – seperti yang telah dikhabarkan dari sebagian mereka
–[32] dan kita berharap sampainya maksud bagi
siapa yang meminta apa yang ada di akhirat seperti meminumnya karena haus di
akhirat nanti, tidak dapat dihitung keshahihan khabar-khabar yang diriwayatkan
ini – secara global – (menguatkan shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat
peminumnya – padahal ia sendiri adalah hadits yang sanadnya shahih)[33] seperti yang telah kita lewati, apa yang
menguatkan hal tersebut pada dua keistimewaan yang terakhir dari sifat air
zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.
Dan
memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya adalah – tanpa ragu dan
bimbang – dengan taufiq Allah, pertolongan dan rahmat-Nya. Hal tersebut
merupakan satu jaminan dari Allah ta’ala pada air zamzam bahwa ia
memiliki keberkahan dan manfaat terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang
benar.
Telah
dinukil dari Ibnul-‘Arabiy[34] rahimahullaahu ta’ala bahwa ia
pernah berkata tentang manfaat air zamzam :
وهذا موجود فيه إلى يوم القيامة لمن صحة نيته، وسلمت طويته، ولم
يكن به مكذبا، ولا يشربه مجربا، فإن الله مع المتوكلين، وهو يفضح
المجربين.
“(Manfaat)
ini akan ada padanya hingga hari kiamat bagi siapa saja yang benar niatnya,
lurus hati nuraninya tidak berdusta padanya, dab tidak pula meminumnya hanya
untuk coba-coba; karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal, dan Allah
membuka aib orang yang hanya coba-coba”.[35]
5.
Dan
diantara keistimewaan lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Al-Imam
Az-Zarkasyi bahwasannya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar yang
menjadi pendorong dan motivatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah
Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan mengungguli
imannya dalam meminumnya.[36]
Maksudnya
adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama :
إنما لم يكن عذبا ليكون شربه تعبدا لا تلذذا
“Rasanya
tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan”.[37]
Sesungguhnya
Az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah ta’ala mengagungkan air
zamzam pada musim haji,[38] dan memperbanyak hal-hal ajaib di luar
kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan : “Kita dan
orang lain telah menyaksikan itu semua”.[39]
Dan
yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh
hal-hal lain di setiap saat. Hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern.
Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil
dzat-dzat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut
tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi
kemurnian dzatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi
kemaslahatannya untuk diminum. Yang demikian ini dilihat dari segala bentuk
ukuran yang dilakukan padanya.[40]
Oleh
karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung
orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari dzat-dzat
klinis seperti yang diungkapkan dalam satu majalah.[41] Inilah keistimewaan-keistimewaan penting
air zamzam yang diberkahi. Sesungguhnya para ulama telah menyebutkan
keistimewaan dan kelebihan lain[42] yang membutuhkan landasan dalil yang
shahih.
Saya
menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul-Qayyim tentang keutamaan air
zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya :
ماء زمزم : سيد المياه وأشرفها وأجلّها قدرا، وأحبّها إلى
انفوس، وأغلاها ثمنا، وأنفسها عند الناس، وهو هَزْمة جبريل، وسقيا الله
إسماعيل.
“Air
zamzam : air yang terbaik, termulia, dan teragung kedudukannya, sangat dicintai
oleh jiwa, sangat mahal harganya, dan sangat berharga bagi manusia. Ia merupakan
hasil usaha Jibriil ‘alaihis-salaam dan pemberian minum dari Allah untuk
Isma’il”.[43]
Sifat
Tabarruk dengan Meminum Air Zamzam
Disunnahkan
bagi orang yang melakukan ibadah haji dan ‘umrah untuk meminum air zamzam
setelah usai melaksanakan thawaf dan shalat dua raka’at di belakang maqam
Ibrahim ‘alaihis-salaam.
Telah
shahih dalam Shahih Muslim satu riwayat dari Jaabir bin ‘Abdillah
radliyallaahu ‘anhu mengenai shifat haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, bahwasannya ketika usai melaksanakan thawaf, beliau mendatangi Bani
‘Abdul-Muthallib yang sedang memberi minum (jama’ah haji) air zamzam. Beliau
bersabda kepada mereka :
انْزِعُوا بَنِي عَبْدِ الْمُطَلِّبِ، فَلَوْ لَا أَنْ
يَغْلَبُكُمُ النَّاسُ عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ. فَنَاوَلُوهُ
دَلْوًا فَشَرِبَ مِنْهُ.
“Terus,
(wahai) Bani ‘Abdil-Muthallib,[44]
seandainya manusia tidak berbondong-bondong dalam pemberian minum kalian
tersebut, maka aku akan ikut memberikan minum bersama kalian”.[45] Maka mereka memberikan kepada beliau
seember air zamzam lalu beliau meminumnya”.[46]
Dan
dalam Ash-Shahihain dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia
berkata :
سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
زَمْزَمَ، فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ.
“Aku
pernah memberi minum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan air
zamzam, dan beliau pun meminumnya dalam keadaan berdiri”.[47]
Telah
diketahui bahwa ada hadits-hadits shahih yang melarang menum dengan berdiri.
Namun Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjawabnya dengan perkataannya
:
النهي فيها محمول على كراهية التنزيه، وأما شربه صلى الله عليه
وسلم قائما فبيان للجواز، فلا إشكال ولا تعارض.
“Larangan
dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan
penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam
memahaminya dan tidak pula ada pertentangan”.[48]
Dan
dikatakan pula bahwa minum air zamzam tanpa berdiri adalah sulit karena
tingginya dinding yang mengelilinginya.[49]
Kesimpulannya
bahwa yang menjadi sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam tidak
dengan berdiri berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarangannya, kecuali
jika diperlukan. Khususnya yang ditunjukkan dalam riwayat Al-Bukhari
:
فَحَلَفَ عِكْرِمَةُ - وَهُوَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - مَا
كَانَ يَوْمَئِذٍ إِلَّا عَلَى الْبَعِيْرِ
“’Ikrimah
– ia adalah maula Ibnu ‘Abbas – bersumpah bahwasannya ketika itu beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atas onta”.[50]
Hal
itu bukanlah seperti yang disebutkan oleh sebagian orang[51] bahwa termasuk sunnah bagi seorang
muslim adalah minum air zamzam dengan berdiri, bersandar dengan hadits di
atas.
Anjuran
minum air zamzam tidak hanya dibatasi pada orang yang melakukan ibadah haji dan
‘umrah saja[52], akan tetapi hal itu umum bagi siapa
saja – sesuai keumuman hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan air zamzam dan
apa-apa yang terkandung di dalamnya dari barakah, manfaat, dan obat.
Termasuk
bagian dari sunnah dalam meminum air zamzam adalah memperbanyak minum
(tadlallu’)[53] seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan selainnya dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ آيَةً مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ،
إِنَّهُمْ لَا يَتَضَلَّعُوْنَ مِنْ زَمْزَمَ
“Sesungguhnya
tanda (pembeda) antara kami dan kaum munafiqin adalah bahwasannya mereka tidak
memperbanyak minum air zamzam”.[54]
Demikian
juga bahwa memperbanyak minum air zamzam walaupun di luar kebiasaan dengan
maksud memperoleh keberkahan termasuk dari hal-hal yang diperbolehkan seperti
apa yang dilakukan oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu[55] yang memperbanyak minum air ketika
muncul di antara jari-jari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam
karena barakah yang ada padanya.[56]
Termasuk
diantara yang disunnahkan juga adalah berdoa saat meminumnya dengan apa yang dia
inginkan dari doa-doa yang disyari’atkan, serta berniat sesuka hatinya dari
kebaikan dunia dan akhirat seperti berobat, mengambil manfaat, atau yang
lainnya. “Air zamzam itu menurut apa yang diniatkan oleh peminumnya” –
sebagaimana penjelasan yang lalu.
Diriwayatkan
bahwasannya Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma apabila meminum air zamzam,
ia berdoa :
اَللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعَا، وَرِزْقًا وَاسِعًا،
وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Ya
Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang lapang, dan
kesembuhan dari segala macam penyakit”.[57]
Di
antara adab ketika meminum air zamzam adalah sebagaimana dijelaskan pada sebuah
riwayat dalam Sunan Ibni Majah dan selainnya :
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا فَقَالَ : مِنْ أَيْنَ جِئْتَ ؟ قالَ : مِنْ زَمْزَمَ. قَالَ :
فَشَرِبْتَ مِنْهَا كَمَا يَنْبَغِي ؟ قَالَ : وَكَيْفَ ؟ قَالَ : إِذَا شَرِبْتَ
مِنْهَا فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ، وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ، فَتَنَفَّسْ ثَلَاثًا،
وَتَضَلُّعْ مِنْهَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَاحمدِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ آيَةًَ بَيْنَنَا...
“Bahwasannya
seseorang datang kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas
bertanya kepadanya : ‘Dari mana engkau datang ?’. Ia menjawab : ‘Dari sumur
zamzam’. Ibnu ‘Abbas berkata : ‘Jika engkau minum air zamzam, maka menghadaplah
ke kiblat, sebutlah nama Allah ‘azza wa jalla, bernafaslah tiga kali, dan
perbanyaklah meminumnya. Apabila engkau telah selesai, maka pujilah Allah
‘azza wa jalla, karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda : ‘Sesungguhnya tanda (pembeda) antara kami….”
[al-hadits].[58]
Ini
semua merupakan hal-hal yang menyangkut sifat tabarruk dengan meminum air
zamzam. Namun apakah tabarruk dengannya ini dapat ditambah seperti
membasuh anggota tubuh dengan air tersebut ?
Kita
tidak mendapatkan keterangan mengenai masalah ini kecuali apa yang diriwayatkan
oleh sebagian mereka dari ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahumallah
bahwasannya ia berkata :
رأيت أبي غير مرة يشرب من ماء زمزم، يستشفي به، ويمسح به يديه
ووجهه
“Aku
pernah melihat ayahku beberapa kali meminum air zamzam, berobat dengannya, dan
membasuh kedua tangan dan wajahnya”.[59]
Wallaahu
a’lam.
Sekarang
saya akan menguraikan dengan ringkas mengenai masalah-masalah penting lainnya
yang berkaitan dengan pemakaian air yang diberkahi ini.
Hukum
Wudlu dan Mandi Junub dengan Air Zamzam
Madzhab
jumhur ulama adalah tidak dibenci (makruh) berwudlu dan mandi menggunakan air
zamzam.
Dalam
satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullah disebutkan bahwa beliau
membencinya, karena telah ada satu atsar dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia pernah berkata mengenai air zamzam
:
لست أحلها لمغتسل، وهي لشارب حل وبل
“Aku
tidak membolehkannya bagi orang yang memakainya untuk mandi. Ia hanya boleh
untuk orang yang meminumnya saja[60]”.[61]
Dan
juga (alasannya adalah) karena ia menghilangkan apa yang menghalangi (seeorang)
dari shalat, maka ia seperti menghilangkan najis dengannya (sehingga makruh
mempergunakannya untuk wudlu dan mandi).[62]
Dalil-dalil
yang dipergunakan oleh jumhur adalah sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi
rahimahullah :
النصوص الصحيحة الصريحة المطلقة في المياه بلا فرق، فأنه لم يزل
المسلمون على الوضوء منه بلا إنكار
“Nash-nash
yang shahih, sharih (jelas), lagi muthlaq yang berkenaan dengan
segala macam air adalah tanpa pembedaan, bahwasannya kaum muslimin darinya tanpa
adanya pengingkaran”.
Kemudian
ia berkata :
ولم يصح ما ذكروه عن العباس، بل حكي عن أبيه عبد المطلب، ولو
ثبت عن العباس لم يجز ترك النصوص به، وأجاب أصحابنا - الشافعية - أنه محمول على أنه
قاله في وقت ضيق الماء لكثرة الشاربين.
“Tidak
shahih riwayat yang berasal dari Al-‘Abbas, akan tetapi (yang benar)
dihikayatkan riwayat tersebut dari bapaknya, yaitu ‘Abdul-Muthallib.[63] Meskipun seandainya riwayat itu shahih
dari Al-‘Abbas, maka tetap tidak diperbolehkan untuk meninggalkan nash-nash yang
ada karenanya. Para shahabat kami – yaitu Syafi’iyyah - menjawab bahwasannya
riwayat tersebut dibawa pada pengertian Al-‘Abbas mengatakannya pada saat
sulitnya (mendapatkan) air akibat banyaknya orang yang meminumnya[64]”.[65]
Dan
dari perkataan Ibnu Qudamah[66] yang menguatkan peniadaan hukum makruh
adalah sebagai berikut :
وشرفه لا يوجب الكراهة لاستعماله، كالماء الذي وضع فيه النبي
صلى الله عليه وسلم كفه، أو اغتسل منه.
“Kemuliaannya
tidaklah mengharuskan kemakruhan untuk mempergunakannya, seperti air yang Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan telapak tangan di dalamnya,
atau mandi darinya”.[67]
Telah
diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad, dari ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu dalam kisah tentang haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta seember[68] air zamzam, yang kemudian meminumnya dan
berwudlu dengannya.[69]
Adapun
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat makruhnya mandi
dengan air zamzam selain wudlu. Hal itu disebabkan hadats dari janabah itu lebih
berat. Maka, mandi janabah termasuk menghilangkan hadats besar di satu sisi,
sehingga kewajiban mandi janabah itu ekuivalen dengan kewajiban mandi terkena
najis. Oleh karena itu, larangan Al-’Abbas itu hanya untuk mandi, bukan untuk
wudlu’.[70]
Hukum
Istinja’ (Cebok) dengan Air Zamzam
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum istinjaa’ dengan air zamzam dalam
tiga perkataan :
(1)
Haram
dilakukan meskipun ia sebelumnya telah suci (tidak berhadats) dikarenakan
kehormatan dan kemuliaan air zamzam. Sebagian lain beralasan bahwa ia termasuk
bagian dari kebutuhan pokok seperti makanan, maka ia menjadi haram karena
kedudukannya sebagai makanan.
(2)
Makruh.
(3)
Menyelisihi
pendapat pertama,[71] yaitu tidak sepantasnya menghilangkan
najis dengan air zamzam, apalagi istinjaa’, khususnya bila yang lainnya
masih ada.[72]
Termasuk
dari cabang pembahasan larangan bersuci dengan air zamzam : Larangan memandikan
mayit dengannya, sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama.[73]
Al-Faakihiy[74] menyebutkan – seorang ulama
generasi/abad ketiga – bahwasannya penduduk Makkah memandikan jenazah mereka
dengan air zamzam. Apabila telah selesai memandikan mayit dan membersihkannya,
maka yang lainnya juga mempergunakannya (air zamzam) untuk mandi dalam rangka
mencari barakah.[75]
Hukum
Memindahkan Air Zamzam Keluar Negeri Haram
Diperbolehkan
membawa air zamzam ke seluruh negeri untuk ber-tabarruk dengannya dengan
kesepakatan para ulama.[76] Asal pembolehan tersebut didasarkan pada
riwayat yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia pernah membawa air zamzam, dan
mengkhabarkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
membawanya juga.[77]
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن حمل شيئا من ماء زمزم جاز، فقد كان السلف
يحملونه
“Barangsiapa
yang membawa sesuatu dari air zamzam, maka diperbolehkan. Sungguh para salaf
juga membawanya”.[78]
Al-Imam
Az-Zarkasyi rahimahullah telah berkata :
يجوز إخراج ماء زمزم وغيره من مياه الحرم، ونقله إلى جميع
البلدان، لأن الماء يُستخلف، بخلاف نقل التراب والحجر.
“Diperbolehkan
membawa air zamzam dan selainnya dari air-air yang berada di tanah haram, dan
memindahkannya ke seluruh negeri; karena air tersebut dapat terganti (mengalir
lagi), berbeda halnya dengan tanah dan batu”.[79]
Al-Imam
As-Sakhawiy[80] rahimahullah berkata
:
يذكر على بعض الألسنة أن فضيلته ما دام في محله، فإذا نقل
يتغير، وهو شيء لا أصل له
“Sering
terdengar dari mulut ke mulut bahwasannya keutamaan air zamzam adalah apabila
masih di tempatnya, dan apabila telah dipindahkan maka akan hilang. Perkataan
ini tidak ada salnya sama sekali”.
Kemudian
ia menyebutkan beberapa dalil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan sebagian shahabat radliyallaahu ‘anhum yang menerangkan tentang hal
tersebut untuk ber-tabarruk dengannya.[81]
Wallaahu
a’lam.
[At-Tabarruk
: Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad
Al-Judai’, hal. 279-294; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 – berikut terjemahannya
: Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir, hal. 95-112; Cet.
1/1425 H/2004 M].
[1]
Ia adalah Jibril ‘alaihis-salaam, seperti yang disebutkan pada
riwayat lain dari Al-Bukhari rahimahullah.
[2]
Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga) agar air tidak terus-menerus
mengalir [‘Umdatul-Qaariy, 15/257].
[3]
Dengan mem-fath-hah-kan miim, yang artinya : mengalir di atas
bumi [‘Umdatul-Qaariy, 15/253].
[4]
Shahih Al-Bukhari 3/113, Kitaabu Ahaadiitsil-Anbiyaa’, Baab
: Yazuffuuna An-Nasalaanu fil-Masyiy.
[5]
Mereka berasal dari Al-Qahthaniyyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah
negeri Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke
Makkah dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal [Mu’jamu
Qabaailil-‘Arab Al-Qadiimah wal-Hadiitsah oleh ‘Umar Ridla Kuhalah,
1/183].
[6]
Dari kitab Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh
Al-Faasiy Al-Makkiy 1/247-248 dan Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu
Dhahiirah, hal. 259; dengan sedikit perubahan.
[7]
Bukan menjadi rahasia lagi pada masa sekarang mengenai perhatian yang besar
dari pemerintahan Saudi – semoga Allah senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan
– terhadap zamzam. Lihatlah – jika perlu – mengenai usaha besar yang dikeluarkan
oleh pemerintah untuk membangun sumur zamzam dan menyediakan airnya bagi
peziarah negeri haram, dalam ketetapan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah
tertanggal 13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial
Wakaalatul-Anbaa’ hal. 47-51, Cet. Tahun 1408 H.
[8]
Lihat Mu’jamul-Buldaan oleh Al-Hamawiy 3/137, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/252, dan Tuhfatul-Raaki’i wal-Masaajidi fii
Ahkaamil-Masaajidi oleh Abu Bakr Al-Jaraa’iy hal. 57.
[9]
Lihat Mu’jamul-Buldaan oleh Al-Hamawiy 3/148, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/251-252, dan Tuhfatul-Raaki’i wal-Masaajid hal.
58-60.
[10]
Dikeluarkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jamul-Kabiir
(11/98).
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir,
dan para perawinya adalah tsiqah, dan juga Ibnu Hibban dalam
Shahiih-nya” [At-Targhiib wat-Tarhiib oleh Al-Mundziriy, 2/209].
Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsamiy [lihat
Majma’uz-Zawaaid, 3/286]. As-Suyuthiy mengatakan hadits ini hasan
[Al-Jaami’ush-Shaghiir, 2/10]. Al-Albani berkata : “Isnad hadits ini
minimal berderajat hasan” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 3/45].
Dan saya tidak menemukannya hadits ini dalam Shahih Ibni
Hibbaan.
[11]
Shahih Al-Bukhari 2/167, Kitaabul-Hajj, Baab Maa Jaa-a fii
Zamzam.
[12]
‘Umdatul-Qaariy, 9/277.
[13]
Beliau adalah ‘Umar bin Ruslaan bin Nashiir Al-Kinaaniy Al-‘Asqalaniy
Al-Bulqiiniy Al-Mishriy Asy-Syafi’iy, Abu Hafsh Siraajuddin; haafidh,
faqiih, dan mujtahid. Memiliki beberapa karya tulis, diantaranya :
Mahaasinul-Ishthilaah fil-Hadiits dan Al-Ajwiibatul-Mardliyyah
‘alal-Masaailil-Makkiyyah. Wafat di Kairo tahun 805 H.
[14]
Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy, 1/252.
[15]
Lihat Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 268.
[16]
Beliau adalah ‘Abdurrahiim bin Al-Husain bin ‘Abdurrahman Al-‘Iraqiy, Abu
Fadhl Zainuddin, seorang imam yang dikenal dengan nama : Al-Haafidh Al’Iraqiy.
Ia seorang haafidh di masanya. Beliau sibuk dengan ilmu hadits dan
menguasainya. Mempunyai beberapa karya tulis diantaranya : Al-Alfiyyah fii
Mushthalahil-Hadiits, Nidhaam Taqriibil-Qur’an, dan
Taqriibul-Asaaniid wa Tartiibil-Masaanid. Wafat di Kairo pada tahun 806
H.
Lihat
Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy hal 543,
Syadzdzaraatudz-Dzahab 7/55, Al-Badruth-Thaali’ 1/354, dan
Al-A’laam 3/344.
[17]
Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy, 1/252.
[19]
Al-‘Ukanu dalam bentuk jamak dari ‘uknah. Ia merupakan lipatan
yang terdapat di perut karena kegemukan. Jika
dikatakan,”Ta’akkanal-bathnu”, yaitu jika menjadi berlipat-lipat. Diambil
dari kitab Ash-Shihaah oleh Al-Jauhariy, 6/2165.
[20]
Yakni tipis dan kurus. Kata السَّخْفُ dengan mem-fat-hah-kan siin, yaitu hidup yang
ringan; dan dengan men-dlammah-kannya (السُّخْفُ) berarti akal yang lemah. Dikatakan bahwa ia adalah keringanan
yang menyerang manusia bila lapar. Di antara arti kata dari As-sakhfu
yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun yang lainnya
[An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 2/350].
[21]
Shahih Muslim 4/1922, Kitaabu Fadlaailish-Shahaabah, Baab
Min Fadlaaili Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu.
[22]
An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/125.
[23]
Zaadul-Ma’aad oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[24]
Lihat catatan kaki no. 10.
[25]
Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisiy dalam Musnad-nya [lihat
Minhatul-Ma’buud fii Tartiibi Musnad Ath-Thayaalisiy Abi Dawud, 2/203].
Dikeluarkan juga oleh Al-Bazzaar [lihat Kasyful-Astaar ‘an
Zawaaidil-Bazzaar, 2/47].
Al-Haafidh
Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dengan sanad shahih”
[At-Targhiib wat-Tarhiib, 2/209]. Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan
oleh Al-Bazzaar dan Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir. Para perawi
Al-Bazzaar adalah para perawi Ash-Shahiih” [lihat Majma’uz-Zawaaid wa
Manba’ul-Fawaaid oleh Al-Haitsami 3/286].
As-Suyuthi
menghukumi hadits tersebut shahih [Al-Jaami’suh-Shaghiir,
2/28].
Hadits
tersebut asalnya diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, sebagaimana yang telah
lewat.
[26]
Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/291 dan Ibnu Hibbaan
dalam Shahiiih-nya (Al-Ihsaan bi-Tartiibi Shahiih Ibni Hibban
7/623), Kitaabuth-Thibb.
Dikeluarkan
pula oleh Al-Bukhari dalam Shahiih-nya tanpa jazm (“maka
dinginkanlah dengan air” atau : “dengan air zamzam”). Hamaam (salah
seorang perawi) telah ragu dalam membawakannya.
Telah
ada beberapa hadits dalam masalah ini (yaitu : “maka dinginkanlah dengan
air”); sebagian ulama berkata : “Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits
ini “dengan air zamzam” bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi
mereka dan yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada
diri mereka”. Wallaahu a’lam [dari kitab Fat-hur-Rabbaaniy li-Tartiibi
Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy, karangan Ahmad bin
‘Abdirrahman Al-Bannaa, 17/159]. Lihat Ath-Thibbun-Nabawiy oleh
Ibnul-Qayyim hal. 22.
[27]
Zaadul-Ma’ad oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[28]
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018,
Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam; serta Al-Imam Ahmad dalam
Musnad-nya 3/357. Ad-Dimyaathiy berkata : “Diriwayatkan oleh oleh Ahmad
dan Ibnu Majah dengan sanad hasan” [Al-Muttajar Ar-Raabih fii
Tsawaabil-‘Amalish-Shaalih oleh Ad-Dimyaathiy, hal. 318, Baab Tsawaabu
Syurbi Maai Zamzam].
Ibnul-Qayyim
berkata : “Hadits hasan” [Zaadul-Ma’aad, 4/393]. Az-Zarkasyi berkata :
“Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan yang shahih”
[I’laamus-Saajid fii Ahkaamil-Masaajid, hal. 206]. As-Suyuthiy berkata :
“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad jayyid” [Al-Haawiy
lil-Fataawaa, 2/81]. Al-Albani berkata : “Shahih” [lihat Irwaaul-Ghaliil
fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320].
[29]
Beliau adalah Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Makhzuumiy
Al-Muqri’; mufassir dan haafid, maula Saaib bin Abu As-Saaib. Ia
seorang yang faqiih, wara’, dan ahli ibadah”. Mujaahid pernah
berkata : “Aku membaca di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku
berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun
dan bagaimana ia turun”. Wafat tahun 103 H.
Lihat
: Tadzkiratul-Huffadh 1/92, Tahdziibut-Tahdziib 10/42, dan
Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy hal. 42.
[30]
Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya lalu keluarlah air. Al-Hamzah
adalah lubang pada dada. Hazamtul-bi’r, yaitu menggali sumur. Dari
kitab An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits wal-Atsar oleh Ibnul-Atsir,
5/263.
[31]
Dikeluarkan oleh Al-Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118 dan
Al-Azraqiy dalam kitabnya Akhbaaru Makkah wa Maa Jaa-a Fiihaa
minal-Aatsaar 2/50, dan ini adalah lafadh darinya.
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya (2/289) secara marfu’
dari jalan Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, akan tetapi
sanadnya dla’if. Al-Albani berkata : “Yang benar, mauquf pada
Mujaahid”. Kemudian ia berkata : “Dan apabila dikatakan bahwasannya ia tidaklah
berkata berdasarkan ra’yu-nya, maka riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut dihukumi
marfu’. Itu dengan syarat jika riwayat tersebut selamat (dari cacat).
Namun riwayat tersebut adalah mursal, sehingga dla’if. Wallaahu
a’lam”.
Silakan
periksa : Irwaaul-Ghaliil 4/329-332, Al-Maqaashidul-Hasanah fii
Bayaani Katsiir minal-Ahaadiitsi Musytahirati ‘alal-Alsinah oleh
As-Sakhaawiy hal. 375, dan Kanzul-‘Ummal fii Sunanil-Aqwaal wal-Af’aal
oleh ‘Alauddin Al-Hindiy 12/224.
[32]
Lihat Zaadul-Ma’aad oleh Ibnul-Qayyim 4/393, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/255, Al-Maqaashidul-Hasanah oleh As-Sakhaawiy hal.
357, dan Al-Jaamiul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah hal. 364-367.
[33]
Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 267.
[34]
Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Abu Bakr, yang dikenal
dengan nama : Ibnul-‘Arabiy Al-Isybiliy Al-Maalikiy; al-imam,
al-‘allamah, al-haafidh, al-qaadli. Seorang ‘aalim,
faqiih, zuhud, dan ahli ibadah. Beliau mempunyai beberapa karya
tulis, di antaranya adalah kitab tafsir yang terkenal, ‘Aaridlatul-Ahwadziy
fii Syarh Jaami’it-Tirmidziy, dan Al-Mahshuul fil-Ushuul. Wafat pada
tahun 543 H.
Lihat
: Wifaayatl-A’yaan 4/296, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 20/197,
Tadzkiratul-Huffadh 4/1294, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab
4/141.
[35]
Lihat : Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubi,
9/370.
[36]
I’laamus-Saajid bi-Ahkaamil-Masaajid oleh Az-Zarkasyi, hal.
206.
[37]
Dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Hamiid dalam kitab Hidaayatun-Naasik
ilaa Ahammil-Manaasik, hal. 51, dari Ibnu ‘Arafah.
[38]
Yaitu pada musim haji.
[39]
I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[40]
Dari keputusan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tahun 1406 H,
khususnya zamzam; didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul-Anbaa’
As-Su’uudiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang
zamzam, Tha’aamu Tu’m wa Syifaau Suqmin, Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal.
109 dan setelahnya). Penulis menyebutkan beberapa tabel untuk mengetahui
kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap semacamnya dari sumur-sumur yang
ada di dekatnya.
[41]
Lihat Majalah Al-‘Arabiyyah, edisi 127, hal. 98, bulan Sya’ban 1408
H.
[42]
Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/59, I’laamus-Saajid
oleh Az-Zarkasyi hal. 206, dan Sufaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy
2/256.
[43]
Zaadul-Ma’aad 4/392.
[44]
Inzi’uu (انْزِعُوا) dengan meng-kasrah-kan zaa’, artinya : berikan
minum dengan timba dan ambil terus dengan menarik talinya. Dikatakan oleh
An-Nawawi dalam penjelasannya atas Shahih Muslim 8/194.
[45]
Maksudnya : Jika bukan karena khawatiranku bahwa hal tersebut diyakini
sebagai salah satu bagian dari manasik haji oleh manusia dan akan
berdesak-desakan menujunya, dengan cara membuat kalian kepayahan dan menahan
kalian untuk member minum, maka aku akan turut memberi minum bersama kalian oleh
sebab banyaknya keutamaan member minum tersebut”. Dari kitab Syarhun-Nawawi
li-Shahiih Muslim 8/194.
[46]
Bagian dari hadits panjang yang dikelaurkan oleh Muslim 2/892,
Kitaabul-Hajj, Baab Hajjatin-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dikeluarkan juga oleh Al-Bukhari secara ringkas dari Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma. Lihat Shahih Al-Bukhari 2/167.
[47]
Shahih Al-Bukahri 2/167 Kitaabul-Hajj, Maa Jaa-a fii Zamzam;
dan Shahih Muslim 3/1601 Kitaabul-Asyribah, Baab fisy-Syurbi min
Zamzama Qaaiman.
[48]
Syarh Shahih Muslim 13/195.
[49]
‘Umdatul-Qaariy oleh Al-‘Ainiy, 9/278.
[50]
Shahih Al-Bukhari 2/167.
[51]
Lihat kitab Adz-Dzikru wad-Du’aa wal-‘Allaaj bir-Ruqaa minal-Kitaabi
was-Sunnati oleh Sa’iid bin ‘Ali Al-Qahthaniy hal. 65.
[52]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa orang yang berpuasa di Makkah dianjurkan
berbuka puasa dengan air zamzam karena keberkahannya. Lihat I’laamul-Masaajid
oleh Az-Zarkasyi hal. 216.
[53]
Tadlallu’ adalah meminumnya dengan banyak hingga memenuhi lambungnya
[Ani-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/97].
[54]
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1017,
Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam, dan dalam hadits tersebut
terdapat satu kisah. Al-Bushairiy berkata : “Sanad hadits ini shahih, para
perawinya tsiqaat” [Mishbaahuz-Zujaajah, 3/34].
Dikeluarkan
juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/288, Al-Haakim dalam
Al-Mustadrak 1/472 Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf 5/113.
*
Catatan : Hadits ini adalah dla’if. Lihat Sunan Ibni Majah ‘alaa
Hukmil-Albaniy yang disusun oleh Masyhur Hasan Salmaan, Maktabah
Al-Ma’aarif, Cet. 1.- Abu Al-Jauzaa’.
[55]
Lihat Fathul-Baariy 10/102.
[56]
Silakan periksa : Shahih Al-Bukhari 6/253 Kitaabul-Asyribah,
Baab Syurbil-Barakah wal-Maail-Mubaarak.
[57]
Dikeluarkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/228, Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak, Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf 5/113.
[58]
Telah lalu takhrij-nya (lihat : cacatan kaki no. 54).
[59]
Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabiy 11/212 dan
Al-Aadaabusy-Syar’iyyah wal-Manhul-Mar’iyyah oleh Ibnu Muflih Al-Hanbaliy
3/110.
[60]
Al-Hill maknanya adalah halal, wabill artinya mubah – diambil
dari bahasa Humair [Syarus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 7/300]. Dikatakan juga
artinya adalah asy-syifaa’ (obat), dari perkataan : balla man
maridlahu wa aballa [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir 1/154].
[61]
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/114 dengan
lafadh (وهي لشارب ومتوضء) “Dan ia (air zamzam) adalah untuk orang yang meminumnya dan
yang berwudlu dengannya”; dari Al-‘Abbas dan juga dari anaknya. Demikian pula
Al-Fakihiy dalam Akhbaaru Makkah 2/63 dan Al-Azraqiy dalam Akhbaaru
Makkah 2/58.
[62]
Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/18 dan Al-Majmu’
Syarul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 1/91.
[63]
Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/43. Ibnu Katsir
me-rajih-kan riwayat tersebut berasal dari ‘Abdul-Muthallib, karena ia
merupakan orang yang memperbaharui penggalian sumur zamzam. Adapun Al-‘Abbas dan
anaknya, mereka berdua juga mengatakan hal tersebut pada masa mereka berdua
sebagai pemberitahuan dan informasi dengan apa yang disyaratkan oleh
‘Abdul-Muthallib saat menggali sumur zamzam tersebut. Wallaahu a’lam.
Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 2/247.
[64]
Telah datang satu riwayat yang dibawakan oleh Al-Azraqiy bahwa sebab
perkataan ini adalah bahwa Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu mendapatkan
seorang laki-laki yang sedang mandi di kolam zamzam dengan telanjang. Dan dalam
riwayat yang lain darinya disebutkan bahwa laki-laki tersebut mandi dengan air
zamzam, dan ketika itu Al-‘Abbas mendapatinya sehingga ia sangat marah akan hal
itu. Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/58.
[65]
Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 1/91.
[66]
Beliau adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudaamah Al-Maqdisiy,
Ad-Dimasyqiy Ash-Shaalihiy Al-Hanbaliy Abu Muhammad Muwaffaquddin. Al-imam,
al-‘allamah, dan al-mujtahid. Meskipun beliau adalah lautan ilmu,
namun beliau adalah pribadi yang wara’, zuhud, banyak ibadah dan
baik akhlaqnya. Mempunyai beberapa karya tulis yang banyak dan bermanfaat
diantaranya : Al-Mughni fil-Fiqhi, Raudlatun-Naadhir fii
Ushuulil-Fiqh, Mas-alatul-‘Ulluw, Dzammut-Ta’wiil, dan
Fadlaailush-Shahaabah. Wafat pada tahun 620 H.
Lihat
Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 22/165, Al-Bidaayah wan-Nihaayah 13/99,
Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah oleh Ibnu Rajab 2/133, dan
Syadzdzaraatudz-Dzahab 5/88.
[68]
As-Sajlu : bejana yang penuh berisi air [An-Nihaayah oleh
Ibnul-Atsir 2/344].
[69]
Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/76. Az-Zarkasyi
berkata tentang air zamzam : “Telah shahih bahwasannya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya”. I’laamus-Saajid oleh
Az-Zarkasyi hal. 136. Asal hadits ini adalah dalam Shahih Muslim dari
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu – telah lewat isyarat mengenai
hadits ini – namun di dalamnya tidak terdapat perkataan bahwa beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya.
*
Catatan : Syu’aib Al-Arna’uth menyatakan sanad riwayat tersebut adalah
hasan.- Abu Al-Jauzaa’.
[70]
Majmu’ Fataawaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah 12/600. Lihat juga
Badaai’ul-Fawaaid oleh Ibnul-Qayyim 4/48.
[71]
I’laamus-Saajid bi-Ahkaamil-Masaajid hal. 136-137 dengan perubahan dan
peringkasan. Lihat Badaai’ul-Fawaaid 4/47.
[72]
Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy 1/258
dengan sedikit perubahan.
[74]
Beliau adalah Muhammad bin Ishaaq bin Al-‘Abbaas Al-Faakihiy Abu ‘Abdillah
Al-Makkiy Al-Muarrikh, pengarang kitab Akhbaaru Makkah Qadiimid-Dahr wa
Hadiitsih. Wafat pada tahun 272 H.
Lihat
Kasyfudh-Dhunuun 1/306, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/20,
Al-A’laam 6/28, dan muqaddimah juz pertama dari kitab Akhbaaru
Makkah oleh Al-Faakihiy dengan muhaqqiq : ‘Abdul-Malik bin ‘Abdillah
bin Duhaisy.
[75]
Akhbaaru Makkah fii Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih oleh Al-Faakihiy
2/48.
[76]
Lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 7/300, Syifaaul-Gharaam
oleh Al-Faasiy 1/258, dan Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah
hal. 277. Bahkan membawa air zamzam tersebut sangat disukai (mustahab) di
sisi ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Lihat dua referensi terakhir.
[77]
Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/295,
Kitaabul-Hajj, dan ia berkata : “Hadits hasan gharib”; Al-Haakim dalam
Al-Mustadrak 1/485 Kitaabul-Manaasik; dan Al-Faakihiy dalam
Akhbaaru Makkah 2/49.
[78]
Majmu’atur-Rasaail Al-Kubraa oleh Ibnu Taimiyyah 2/413. Lihat
Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy 2/50.
[79]
I’laamus-Saajid hal. 137.
[80]
Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Syamsuddin Abul-Khair
As-Sakhaawiy Al-Mishriy Asy-Syaafi’iy; al-imam, al-haafidh,
al-muarrikh (ahli sejarah), dan al-adiib (sastrawan). Beliau
merupakan pendatang negeri Haramain, kemudian melakukan perjalanan ke segala
penjuru negeri dalam rangka menuntut ilmu. Menulis kitab dalam jumlah yang
sangat banyak, diantaranya : Fathul-Mughiits bi-Syarhi
Alfiyyatil-Hadiits, Adl-Dlau’ul-Laami’ li-Ahlil-Qarnit-Taasi’,
Al-Qaulul-Badii’ fii Shalaati ‘alal-Habiibisy-Syafii’, dan
An-Nukhbatul-Lathiifah fii Akhbaaril-Madiinah Asy-Syariifah. Wafat pada
tahun 902 H.
Lihat
Syadzdzaraatudz-Dzahab 8/16, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/219, dan
Al-A’laam 6/194.
[81]
Lihat Al-Maqaashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiiri
minal-Ahaadiitsil-Musytaharah ‘alal-Alsinah oleh As-Sakhawiy hal. 358.
Silakan periksa juga Al-Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih Al-Hanbaliy
3/110.