Kita semua tentu sudah sangat mengenal hadits di bawah ini, bahkan mungkin sudah banyak yang menghafalnya.

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam bersabda :

    “Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya.” (Hadits shahih riwayat Muslim (1631))

Saya pernah membahas hadits ini secara global saat berbicara tentang passive income. Pada kesempatan ini saya ingin membahas secara lebih detail tentang anak sholih.

Inilah investasi kita di masa depan. Definisi masa depan di sini bukan hanya sebatas di dunia, namun investasi ini dapat kita nikmati hingga setelah kita di akhirat kelak.

Kesholihan Anak Memberi Manfaat kepada Kedua Orang Tua yang telah meninggal

Sesungguhnya orang tua akan mendapat balasan dari amalan shalih yang dilakukan oleh anaknya, karena anak itu termasuk dari usahanya dan harapannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:

    “Dan sesungguhnya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah ia usahakan sendiri.” [An Najm: 39]

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

    “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil dari usahanya sendiri, dan sesungguhnya seorang anak termasuk dari usahanya orang tua.” [HR. Abu Dawud, lihat Ahkamul Jana’iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 216]

Jerih payah orang tua dalam mendidik anak dengan pengajaran yang baik, merawat semenjak masih kecil bahkan semenjak masih di dalam kandungan, menjaga kesehatannya dari segala marabahaya dan upayanya mencarikan nafkah yang halal akan mendapat balasannya yang setimpal.
Seorang Anak Bisa Mengangkat Kedudukan Orang tuanya di Surga

Seorang anak mengangkat kedudukan orangtuanya dengan doanya. Tentu saja bila orang tuanya tidak berbuat syirik.

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam bersabda :

    “Ada seseorang yang dinaikkan derajatnya setelah ia mati, maka ia bertanya: “Wahai Rabbku, ada apa ini?” Dikatakan kepadanya: “Anakmu memohonkan ampun untukmu.” [Shahih Ibnu Majah no. 3660, karya Asy Syaikh Al Abani].

Salah satu cara agar kelak kita mendapat doa dari anak adalah dengan mendoakan orang tua kita. Pada gilirannya nanti anak-anak akan mendoakan kita dan mengangkat kedudukan kita..
Berupaya memiliki anak yang Sholih

Orang hendaknya bersemangat mendapatkan sebab-sebab yang disyariatkan agar memiliki anak yang sholih. Ada beberapa kiat yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya.



Dakwah Tauhid adalah dakwah seluruh rasul. Sehingga sudah selayaknya bagi para dai untuk memulai dakwah dengannya, mengutamakannya dan terus-menerus memperingatkannya.

Dienul Islam adalah dien yang sempurna sejak dasar hingga puncaknya. Yaitu sejak pondasi aqidah hingga puncak amalannya. Tidak ada pertentangan sedikitpun di dalamnya.

Syahadatullah ”Laa Ilaaha Illallah” memerintahkan kita untuk mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dijabarkan dalam tiga macam tauhid. Yaitu Tauhid ’Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid asma’ wa Shifat.

Hal ini menjadi syarat pertama diterimanya amal, yaitu ikhlas hanya karena Allah ta’ala. Konsekuensinya di antaranya adalah kita wajib menjauhi syirik yang besar dan yang kecil.

Syahadaturrasul ”Muhammadur Rasulullah” memerintahkan kita untuk menjadikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai satu-satunya yang kita ikuti. Dijabarkan dalam Tauhid Mutaba’atur Rasul (ittiba’/mengikuti Rasul)

Hal ini menjadi syarat kedua diterimanya amal, yaitu mengikuti petunjuk yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Konsekuensinya kita wajib mengingkari bid’ah.

Inilah yang saya maksud dengan kesinambungan syariat Islam sejak dari dasarnya hingga kepada puncaknya. Seluruh perkara dalam Islam tidak akan lepas darinya.

Hal ini dapat pula dipandang sebagai hubungan antara aqidah dengan fiqih. Dimana aqidah adalah pondasi bagi bangunan fiqih yang ditegakkan di atasnya.

Dengan demikian makin jelaslah bagi kita, mengapa tiap kita memiliki masalah, maka diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dalam arti merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih (pendahulu yang shalih).

Salafush shalih (pendahulu yang shalih) adalah tiga generasi pertama Islam yang merupakan generasi terbaik umat manusia. Yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Kepada merekalah kita merujuk dan lewat dakwah mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini.

Kebahagiaan bagi orang tua bila memiliki anak-anak yang bisa menjadi penyejuk pandangan mata. Berbagai upaya syar’i hendaknya dilakukan penuh semangat termasuk dengan berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang telah diajarkan :
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk pandangan mata, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. [QS. Al-Furqan:74]
Makna dari “penyejuk pandangan mata” bukan sekadar anak yang ganteng atau cantik serta berbadan sehat dan kuat. Lebih dari itu menjadi penyejuk pandangan adalah bila anak tersebut patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kedua orang tuanya.

Untuk mendapatkan investasi masa depan ini ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, antara lain :

Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi rizki keturunan yang sholih. Sebagaimana Nabi Ibrohim ‘alaihi salam juga tidak putus asa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi keturunan yang sholih.
Hingga akhirnya saat beliau telah cukup tua, Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya Nabi Ismail ‘alaihi salam dan Nabi Ishaq ‘alaihi salam. Cerita selanjutnya telah banyak diketahui.

Doa Orang Sholih

Membawa anak kepada orang yang dikenal kesholihannya. Tujuannya adalah agar bisa mencontoh atau didoakan oleh orang sholih tersebut. Bisa pula untuk menimba ilmu darinya.
Para shahabat senantiasa membawa anak-anaknya kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam agar didoakan. Tidak heran bila akhirnya terbentuk generasi yang tangguh dan sempat menguasai dunia.

Menjadi Orang Tua yang Sholih

Dalam upaya memiliki anak yang sholih, maka kita seyogyanya juga harus sholih. Hendaknya kita terus-menerus belajar dan mengamalkan semampu kita.
Dengan memiliki ilmu dan mengamalkannya, maka kita paling tidak memiliki tiga keunggulan. Pertama, kesholihan itu akan menurun kepada anak-anak. Kedua, menjadi teladan bagi anak-anak. Ketiga, bisa mewariskan ilmu kepada anak-anak.
Berkaitan secara tidak langsung dengan menjadi orang tua yang sholih adalah mencarikan rizki yang halal dan memberi makan mereka dengan rizki itu. Memberi makan dari rizki yang haram akan berakibat buruk bagi mereka. Di antaranya adalah doanya tidak akan dikabulkan.

Memilih Pasangan

Kita dapat berbuat baik kepada anak-anak bahkan sejak mereka belum dilahirkan. Yaitu dengan memilih pasangan yang sholih/sholihah. Ayah yang sholih akan mencarikan rizqi yang halal untuk anak-istrinya. Sedangkan ibu yang sholihah akan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada anak-anaknya.
Jadi, upaya untuk memiliki anak-anak yang sholih dimulai sejak memilih pasangan hidup kita. Maka berhati-hatilah dalam memilih pasangan.

Pendidikan

Termasuk tugas utama sebagai orang tua adalah mendidik anaknya. Yang pertama adalah mengenalkan Allah dan Rasul-Nya serta kepada Dienul Islam. Kemudian mengajar mereka dengan ilmu yang bermanfaat lainnya.
Termasuk pula di sini adalah bagusnya cara memberi sanksi. Namanya anak-anak pasti ada sikap perilaku yang kurang baik. Maka pemberian sanksi itu harus bersifat mendidik dan bukan sekadar pelampiasan kemarahan semata.

Teladan

Orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya. Rumah adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Tidak heran bila segala sikap dan kebiasaan orang tua akan dicontoh dan menjadi teladan mereka. Lebih dari itu seorang anak biasanya ingin ikut kemanapun orang tuanya pergi.
Bila orang tua terbiasa shalat berjamaah di masjid, hampir bisa dipastikan sang anak juga tidak mau ketinggalan. Dengan demikian kita tidak perlu menyuruh anak untuk melaksanakan shalat. Ajak saja ke masjid, pasti anak akan ikut melaksanakan shalat.

Doa Jima’

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam telah mengajarkan kepada kita agar berdoa sebelum berjima’. Tujuannya adalah agar syaithon tidak “ikut campur”.
Kemudian dengan doa ini diharapkan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi karunia berupa anak, maka syaithon tidak akan mampu menggodanya.
Doa sebelum berjima'
Doa sebelum berjima'
Artinya : Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari syaithon dan jauhkanlah dari syaithon apa yang akan Engkau karuniakan kepada Kami.

Nama Anak

Yaitu memberi anak dengan nama yang baik. Memang nama yang baik bukan jaminan akan membuat pemiliknya menjadi orang yang sholih. Namun nama yang jelek bisa memengaruhi pemiliknya menjadi jelek perangai atau nasibnya.
Nama ibarat doa. Bila kita memberinya nama yang baik, maka tiap kali memanggilnya kita seperti mendoakan kebaikan untuknya. Beruntung kita bila ketika memanggilnya bertepatan dengan waktu doa yang dikabulkan. Namanya juga usaha.
Semoga yang sedikit ini membawa manfaat.
Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وقال محمد بن الفضل الصوفي الزاهد ذهاب الاسلام على يدي اربعة اصناف من الناس صنف لا يعملون بما يعلمون وصنف يعملون بما لا يعلمون وصنف لا يعملون ولا يعلمون وصنف يمنعون الناس من التعلم قلت الصنف الاول من له علم بلا عمل فهو اضر شيء على العامة فإنه حجة لهم في كل نقيصة ومنحسة والصنف الثاني العابد الجاهل فإن الناس يحسنون الظن به لعبادته وصلاحه فيقتدون به على جهله وهذان الصنفان هما اللذان ذكرهما بعض السلف في قوله احذروا فتنة العالم الفاجر والعابد الجاهل فإن فتنتهما فتنة لكل مفتون فان الناس إنما يقتدون بعلمائهم وعبادهم فإذا كان العلماء فجرة والعباد جهلة عمت المصيبة بهما وعظمت الفتنة على الخاصة والعامة والصنف الثالث الذين لا علم لهم ولا عملوإنما هم كالانعام السائمة والصنف الرابع نواب ابليس في الارض وهم الذي يثبطون الناس عن طلب العلم والتفقه في الدين فهؤلاء اضر عليهم من شياطين الجن فانهم يحولون بين القلوب وبين هدى الله وطريقه فهؤلاء الاربعة اصناف هم الذين ذكرهم هذا العارف رحمة الله عليه وهؤلاء كلهم على شفا جرف هار وعلى سبيل الهلكة وما يلقى العالم الداعي الى الله ورسوله ما يلقاه من الاذى والمحاربة الا على ايديهم والله يستعمل من يشاء في سخطه كما يستعمل من يحب في مرضاته إنه بعباده خبير بصير ولا ينكشف سر هذه الطوائف وطريقتهم إلا بالعلم فعاد الخير بحذافيره الى العلم وموجبه والشر بحذافيره الى الجهل وموجبه
“Telah berkata Muhammad bin Al-Fadhl Ash-Shuufy Az-Zaahid : Hilangnya Islam itu disebabkan oleh empat golongan manusia :
1. Orang yang tidak beramal dengan apa-apa yang ia ketahui.
2. Orang yang beramal dengan apa apa-apa yang tidak ia ketahui (beramal tanpa ilmu).
3. Orang yang tidak beramal dan juga tidak berilmu.
4. Orang yang menghalangi manusia untuk belajar menuntut ilmu.
Aku (Ibnul-Qayyim) berkata :
Golongan Pertama, adalah orang yang mempunyai ilmu namun tidak mau beramal. Mereka ini lebih berbahaya terhadap masyarakat, sebab ia menjadi hujjah bagi mereka dalam setiap kekurangan dan kesulitan.
Golongan Kedua, adalah ahli ibadah namun bodoh (jahil). Manusia berprasangka baik dengannya karena ibadah dan kebaikan yang dilakukannya. Maka mereka pun mengikutinya disebabkan atas dasar kejahilan yang dilakukan oleh orang tersebut.
Kedua golongan di atas telah disebutkan oleh sebagian ulama salaf dengan perkataan mereka : ”Hati-hatilah terhadap seorang ’alim yang fajir dan seorang ahli ibadah yang jahil, karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah”. Sesungguhnya manusia itu akan mengikuti ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka. Apabila ulama itu adalah seorang yang fajir (senang bermaksiat) dan ahli ibadah itu adalah seorang yang jahil, maka meratalah musibah (bagi manusia) akibat keduanya. Menjadi besarlah fitnah, baik bagi kalangan tertentu dan juga masyarakat awam.
Golongan Ketiga, adalah orang yang tidak berilmu lagi tidak beramal yang mereka ini seperti binatang ternak.
Golongan Keempat, adalah para utusan Iblis di muka bumi yang (bertugas) melemahkan semangat manusia dalam menuntut ilmu dan ber-tafaqquh fid-diin (mendalami ilmu agama). Mereka ini lebih berbahaya dibandingkan syaithan-syaithan dari golongan jin. Mereka senantiasa memberikan tipu muslihat antara hati-hati manusia dan petunjuk/jalan Allah (yang lurus).
Keempat golongan yang disebutkan oleh Muhammad bin Al-Fadhl – rahmatullaahi ’alaih –, kesemuanya berada pada tepi jurang dan di atas jalan kebinasaan. Dan tidaklah akan ditemui suatu bahaya dan permusuhan yang menimpa seorang yang ’alim yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali disebabkan oleh (kejahatan) tangan-tangan mereka. Allah akan menjadikan siapapun yang dikehendaki-Nya (untuk beramal dengan amalan) yang menjadi sebab kebencian mereka terhadapnya sebagaimana Dia akan menjadikan orang yang Dia cintai untuk beramal dengan apa-apa yang menjadi keridlaan-Nya. (Allah ta’ala telah berfirman : ) ”Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-Nya lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 27). Tidak ada yang dapat menyingkap rahasia dan thariqah golongan-golongan ini kecuali dengan ilmu. (Dengan hal itu), maka kembalilah kebaikan dengan segala unsurnya kepada ilmu dan segala pendorongnya; dan kembalilah kejelekan dengan segala unsurnya kepada kebodohan dengan segala pendorongnya pula”.
[selesai – Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1/160-161; Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut - Abu Al-Jauzaa’, Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor, 16610 – http://abul-jauzaa.blogspot.com].

Semoga kita tidak termasuk salah satu di antara empat golongan tersebut.....
Seorang tokoh memberikan sebuah kisah simbolik (permisalan) yang cukup menarik. Dan ini merupakan kisah favorit saya semenjak beberapa tahun yang lalu (yang saya baca dari sebuah buku yang saya beli di Gunung Agung, Bogor). Saya lihat, satu dua blog telah mengutipnya, namun tidak apalah saya ulangi di sini untuk satu faedah.
Kisah ini adalah kisah seorang raja dan sesendok madu. Alkisah, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji kesadaran warga kotanya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah ditetapkan, membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga kota pun memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya.
Tetapi, dalam pikiran seorang warga kota (katakanlah si A) terlintas suatu cara untuk mengelak,”Aku akan membawa sesendok penuh, tetapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Sesendok air pun tidak akan mempengaruhi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota”.
Tibalah waktu yang telah ditetapkan. Apa yang kemudian terjadi ? Seluruh bejana ternyata penuh dengan air. Rupanya, semua warga kota berpikiran sama dengan si A. Mereka mengharapkan warga kota yang lain membawa madu sambil membebaskan dii dari tanggung jawab. [selesai]
Kisah simbolik ini dapat terjadi, dan bahkan mungkin terjadi telah terjadi. Banyak orang di antara kita selalu mengandalkan kerja dan usaha orang lain. Sementara itu, kita hanya duduk termangu menunggu hasil. Kita ingin perubahan menuju kebaikan, namun tidak sepeserpun saham kita ikut andil dalam mewujudkannya. Kita sangat senang menuntut orang lain melakukan sesuatu sesuai keinginan kita. Bahkan seringkali kita memaksakannya. Namun jika kita bercermin balik,.... apa yang telah kita lakukan ? Ada atau tidak ada ?
Perubahan menuju kemajuan dan perbaikan mustahil diwujudkan melalui asas ’menggantungkan diri’ kepada yang lainnya. Allah telah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [QS. Ar-Ra’d : 11].
Pada ayat di atas Allah telah menegaskan bahwa perubahan itu hanya berlaku jika ada ikhtiyar dari orang yang bersangkutan. Allah tidak berfirman : ”sehingga orang lain mengubah keadaan yang ada pada diri mereka”.
Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk produktif. Apa yang telah kita berikan pada Islam ? Apa yang telah kita berikan pada dakwah ? Apa yang telah kita berikan pada kaum muslimin ? Jika ilmu kita sedikit, harta kita minim,... sumbangan tenaga atau pikiran pun masih membuka peluang kita untuk berpartisipasi. Jika itu pun tidak bisa kita lakukan, bermuamalah dan memperlihatkan akhlaq yang baik kepada masyarakat sudah merupakan investasi penting untuk memberikan citra yang baik bagi dakwah salaf – yang sering rusak oleh perilaku segelintir manusia.
Mulailah pada diri kita (dan keluarga kita) !! Sekarang juga !!

Semoga bermanfaat.
Zamzam adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada di Masjidil-Haram di sebelah timur Ka’bah.
Adapun asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma – dari sebuah hadits yang panjang – bahwasannya Hajar ibu Isma’il rahimahumallah ketika merasa dahaga, ia dan anaknya (Isma’il) mencari air. Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
فَلَمَّا أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةَ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ : (صَهٍ) - تُرِيْدُ نَفْسَهَا - ثُمَّ تَسَمَّعَتْ أَيْضًا فَقَالَتْ : قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ غِوَاثٌ، فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ - أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ - حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءَ، فَجَعَلَتْ تَحُوْضُهُ وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ الْمَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَ مَا تَغْرِفُ. قَالَ ابنُ عَبَّاس : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ - أَوْ قَالَ : لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ - لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا. قَالَ : فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا.
“Maka ketika berada di Marwah, ia mendengar suara : ‘Diamlah’ – suara tersebut tertuju pada dirinya - . Kemudian Hajar ingin mendengarkan lagi dengan seksama, dan akhirnya ia pun mendengarnya. Hajar berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah memperdengarkan kepadaku, adakah bantuan darimu ?’.
Ternyata ia adalah malaikat[1] yang berada di tempat zamzam. Maka malaikat itu mencari sumber air dengan tumitnya – atau : sayapnya – hingga keluarlah air. Lalu Hajar membuat kolam[2], ia berkata dengan tangannya begini, dan kemudian ia mulai menggayung air untuk meminumnya. Hal tersebut dilakukan dengan cepat setelah menggayung”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah merahmati Isma’il, seandainya saja ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka air zamzam akan mengalir terus”.[3] “Maka ia meminum airnya dan menyusui bayinya”.[4]
Air zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh penduduk Makkah hingga kabilah Jurhum[5] meremehkan kehormatan Ka’bah dan negeri Haram, sehingga tempat keluarnya air zamzam tersebut menghilang. Ada yang berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur sumber air zamzam tersebut ketika mereka pergi ke Makkah, dan ada juga yang mengatakan bahwa sumber air zamzam terkubur oleh banjir. Hal ini terus berlanjut masa demi masa hingga akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul-Muthallib bin Hasyim – kakek Nabi shallllaahu ‘alaihi wa sallam – dengan mengetahui berbagai tanda hingga diketahui tempatnya; yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat tidurnya, lalu ia diperintahkan untuk menggalinya. Maka digalilah tempat yang ditunjukkan tersebut hingga terpancarlah air zamzam tersebut.[6]
Sesungguhnya sejak masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum muslimin sangat memperhatikan zamzam.[7] Para khalifah dan para ulama serta para pemimpin kaum muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam, merenovasi, dan memeliharanya dengan baik agar jama’ah haji dan para peziarah negeri Haram mendapatkan pahala kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.
Adapun sebab air tersebut dinamakan dengan zamzam adalah karena faktor banyak dan melimpahnya. Dan kata zamzam menurut orang ‘Arab bermakna melimpah dan mengumpul. Ada yang berpendapat lain, yaitu karena Hajar – ibnu Isma’il – mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia membuat semacam kolam. Ada juga yang berpendapat lain, yaitu karena suara airnya yang bergemuruh dan meluap-luap ketika keluar. Dan pendapat-pendapat yang lainnya.[8]
Air zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada keagungan dan keutamaannya, diantaranya adalah : Maimuunah, Mubaarakah, ‘Aafiyyah, dan Maghdziyyah.[9]
Keistimewaan Air Zamzam
Diantara keistimewaan zamzam dan keberkahannya adalah bahwa Allah ta’ala telah mengistimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting adalah :
1. Air zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at agama maupun kesehatan.
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ...
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam…”.[10]
Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu – pada kisah Isra’ Mi’raj – bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَفَرَّجَ صَدْرِيْ، ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمْزَمَ....
“Maka Jibril ‘alaihis-salaam turun dan membelah dadaku, kemudian ia mencucinya dengan air zamzam….”.[11]
Al-‘Aini rahimahullah berkata :
وهذا يدل قطعا على فضلها، حيث اختص غسل صدره عليه الصلاة والسلام بمائها دون غيرها
“Hal ini menunjukkan dengan pasti keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam dikhususkan dengan air zamzam, tanpa selainnya”.[12]
Oleh karena itu, Sirajjudin Al-Bulqini[13] berkata :
إن ماء زمزم أفضل من ماء الكوثر، معللا ذلك بكونه غسل النبي صلى الله عليه وسلم، ولم ليغسل إلا بأفضل المياه.
“Sesungguhnya air zamzam lebih baik dibandingkan air Al-Kautsar dengan dasar karena dipakai untuk mencuci dada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah dada beliau dicuci kecuali dengan air yang terbaik”.[14]
Secara lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air (telaga) Al-Kautsar termasuk yang menyangkut hari akhir. Oleh karena itu, tidak dapat dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia.[15] Sebagaimana hadits yang memuliakannya : “Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam” ; menunjukkan hal tersebut. Wallaahu a’lam.
Al-Haafidh Al-‘Iraqiy[16] rahimahullah menyebutkan bahwa hikmah di balik pencucian dada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan air zamzam adalah agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dalam memandang malaikat-malaikat langit dan bumi, surga dan neraka; karena dari keistimewaan air zamzam bahwasannya ia dapat lebih meneguhkan hati dan menentramkan perasaan.[17] Dan akan lebih jelas – insya Allah – pada apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi kedokteran (medis).[18]
2. Mengeyangkan peminumnya seperti makanan.
Telah shahih sebuah riwayat pada Shahih Muslim dalam kisah Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk Islam, ia menetap di sana selama 30 hari antara malam dan siang di dalam Masjidil-Haraam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Siapakah yang telah memberimu makan ?”. Ia (Abu Dzarr) menjawab : “Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zamzam, lalu aku menjadi gemuk dan berlemak,[19] perutku berlipat-lipat, aku tidak mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku”.[20] Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga) merupakan makanan yang berselera”.[21]
Ibnul-Atsir berkata :
أي يشبع الانسان إذا شرب ماءها كما يشبع من الطعام
“Sesuatu yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari makanan”.[22]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata tentang kekhususan air zamzam ini :
شاهدت من يتغذا به الأيام ذوات العدد قريبا من نصف الشهر، أو أكثر، ولا يجد جوعا، ويطوف مع الناس كأحدهم، وأخبرني أنه ربما بقي عليه أربعين يوما، وكان له قوة يجامع بها أهله، ويصوم ويطوف مرارا.
“Aku menyaksikan sebagian orang yang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir setengah bulan atau lebih dari itu, ia tidak merasa kelaparan. Ia mengikuti thawaf bersama orang-orang. Dikhabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan jima’ dengan istrinya, puasa, dan thawaf berkali-kali”.[23]
3. Berobat dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ طَعَامُ الطُّعْمِ، وَشِفَا الْسُّقْمِ.
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam. Di dalamnya terdapat makanan yang diinginkan dan obat bagi penyakit”.[24]
Dan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
زَمْزَمُ طَعَمُ طُعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Air zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari penyakit”. [25]
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ الْحُمَى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَبْرِدُوْهَا بِمَاءٍ زَمْزَمَ.
“Sesungguhnya sakit demam itu termasuk dari panasnya api neraka Jahannam. Maka dinginkanlah dengan air zamzam”. [26]
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan :
وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله
“Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya; yaitu berobat dengan air zamzam (sungguh) hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit dengan ijin Allah ta’ala”.[27]
4. Bahwasannya air zamzam itu adalah menurut niat peminumnya.
Diriwayatkan oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zamzam itu menurut apa yang diinginkan peminumnya”.[28]
Diriwayatkan dari Mujaahid[29] rahimahullah, bahwasannya ia pernah berkata :
ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله إسماعيل.
“Air zamzam menurut niat peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril[30] dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il”.[31]
Sesungguhnya ulama-ulama besar dan yang lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud yang berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menghapal hadits, karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu kegemaran memanah, sebagai penangkal dahaga pada hari kiamat kelak, serta berbagai manfaat dunia dan akhirat lainnya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka minta sesuai dengan niat mereka – seperti yang telah dikhabarkan dari sebagian mereka –[32] dan kita berharap sampainya maksud bagi siapa yang meminta apa yang ada di akhirat seperti meminumnya karena haus di akhirat nanti, tidak dapat dihitung keshahihan khabar-khabar yang diriwayatkan ini – secara global – (menguatkan shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat peminumnya – padahal ia sendiri adalah hadits yang sanadnya shahih)[33] seperti yang telah kita lewati, apa yang menguatkan hal tersebut pada dua keistimewaan yang terakhir dari sifat air zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.
Dan memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya adalah – tanpa ragu dan bimbang – dengan taufiq Allah, pertolongan dan rahmat-Nya. Hal tersebut merupakan satu jaminan dari Allah ta’ala pada air zamzam bahwa ia memiliki keberkahan dan manfaat terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang benar.
Telah dinukil dari Ibnul-‘Arabiy[34] rahimahullaahu ta’ala bahwa ia pernah berkata tentang manfaat air zamzam :
وهذا موجود فيه إلى يوم القيامة لمن صحة نيته، وسلمت طويته، ولم يكن به مكذبا، ولا يشربه مجربا، فإن الله مع المتوكلين، وهو يفضح المجربين.
“(Manfaat) ini akan ada padanya hingga hari kiamat bagi siapa saja yang benar niatnya, lurus hati nuraninya tidak berdusta padanya, dab tidak pula meminumnya hanya untuk coba-coba; karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal, dan Allah membuka aib orang yang hanya coba-coba”.[35]
5. Dan diantara keistimewaan lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Al-Imam Az-Zarkasyi bahwasannya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar yang menjadi pendorong dan motivatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan mengungguli imannya dalam meminumnya.[36]
Maksudnya adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama :
إنما لم يكن عذبا ليكون شربه تعبدا لا تلذذا
“Rasanya tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan”.[37]
Sesungguhnya Az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah ta’ala mengagungkan air zamzam pada musim haji,[38] dan memperbanyak hal-hal ajaib di luar kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan : “Kita dan orang lain telah menyaksikan itu semua”.[39]
Dan yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh hal-hal lain di setiap saat. Hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern. Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil dzat-dzat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi kemurnian dzatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi kemaslahatannya untuk diminum. Yang demikian ini dilihat dari segala bentuk ukuran yang dilakukan padanya.[40]
Oleh karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari dzat-dzat klinis seperti yang diungkapkan dalam satu majalah.[41] Inilah keistimewaan-keistimewaan penting air zamzam yang diberkahi. Sesungguhnya para ulama telah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan lain[42] yang membutuhkan landasan dalil yang shahih.
Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul-Qayyim tentang keutamaan air zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya :
ماء زمزم : سيد المياه وأشرفها وأجلّها قدرا، وأحبّها إلى انفوس، وأغلاها ثمنا، وأنفسها عند الناس، وهو هَزْمة جبريل، وسقيا الله إسماعيل.
“Air zamzam : air yang terbaik, termulia, dan teragung kedudukannya, sangat dicintai oleh jiwa, sangat mahal harganya, dan sangat berharga bagi manusia. Ia merupakan hasil usaha Jibriil ‘alaihis-salaam dan pemberian minum dari Allah untuk Isma’il”.[43]
Sifat Tabarruk dengan Meminum Air Zamzam
Disunnahkan bagi orang yang melakukan ibadah haji dan ‘umrah untuk meminum air zamzam setelah usai melaksanakan thawaf dan shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim ‘alaihis-salaam.
Telah shahih dalam Shahih Muslim satu riwayat dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu mengenai shifat haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya ketika usai melaksanakan thawaf, beliau mendatangi Bani ‘Abdul-Muthallib yang sedang memberi minum (jama’ah haji) air zamzam. Beliau bersabda kepada mereka :
انْزِعُوا بَنِي عَبْدِ الْمُطَلِّبِ، فَلَوْ لَا أَنْ يَغْلَبُكُمُ النَّاسُ عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ. فَنَاوَلُوهُ دَلْوًا فَشَرِبَ مِنْهُ.
“Terus, (wahai) Bani ‘Abdil-Muthallib,[44] seandainya manusia tidak berbondong-bondong dalam pemberian minum kalian tersebut, maka aku akan ikut memberikan minum bersama kalian”.[45] Maka mereka memberikan kepada beliau seember air zamzam lalu beliau meminumnya”.[46]
Dan dalam Ash-Shahihain dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ، فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ.
“Aku pernah memberi minum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan air zamzam, dan beliau pun meminumnya dalam keadaan berdiri”.[47]
Telah diketahui bahwa ada hadits-hadits shahih yang melarang menum dengan berdiri. Namun Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjawabnya dengan perkataannya :
النهي فيها محمول على كراهية التنزيه، وأما شربه صلى الله عليه وسلم قائما فبيان للجواز، فلا إشكال ولا تعارض.
“Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan”.[48]
Dan dikatakan pula bahwa minum air zamzam tanpa berdiri adalah sulit karena tingginya dinding yang mengelilinginya.[49]
Kesimpulannya bahwa yang menjadi sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam tidak dengan berdiri berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarangannya, kecuali jika diperlukan. Khususnya yang ditunjukkan dalam riwayat Al-Bukhari :
فَحَلَفَ عِكْرِمَةُ - وَهُوَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - مَا كَانَ يَوْمَئِذٍ إِلَّا عَلَى الْبَعِيْرِ
“’Ikrimah – ia adalah maula Ibnu ‘Abbas – bersumpah bahwasannya ketika itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atas onta”.[50]
Hal itu bukanlah seperti yang disebutkan oleh sebagian orang[51] bahwa termasuk sunnah bagi seorang muslim adalah minum air zamzam dengan berdiri, bersandar dengan hadits di atas.
Anjuran minum air zamzam tidak hanya dibatasi pada orang yang melakukan ibadah haji dan ‘umrah saja[52], akan tetapi hal itu umum bagi siapa saja – sesuai keumuman hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan air zamzam dan apa-apa yang terkandung di dalamnya dari barakah, manfaat, dan obat.
Termasuk bagian dari sunnah dalam meminum air zamzam adalah memperbanyak minum (tadlallu’)[53] seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ آيَةً مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ، إِنَّهُمْ لَا يَتَضَلَّعُوْنَ مِنْ زَمْزَمَ
“Sesungguhnya tanda (pembeda) antara kami dan kaum munafiqin adalah bahwasannya mereka tidak memperbanyak minum air zamzam”.[54]
Demikian juga bahwa memperbanyak minum air zamzam walaupun di luar kebiasaan dengan maksud memperoleh keberkahan termasuk dari hal-hal yang diperbolehkan seperti apa yang dilakukan oleh Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu[55] yang memperbanyak minum air ketika muncul di antara jari-jari Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam karena barakah yang ada padanya.[56]
Termasuk diantara yang disunnahkan juga adalah berdoa saat meminumnya dengan apa yang dia inginkan dari doa-doa yang disyari’atkan, serta berniat sesuka hatinya dari kebaikan dunia dan akhirat seperti berobat, mengambil manfaat, atau yang lainnya. “Air zamzam itu menurut apa yang diniatkan oleh peminumnya” – sebagaimana penjelasan yang lalu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma apabila meminum air zamzam, ia berdoa :
اَللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعَا، وَرِزْقًا وَاسِعًا، وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Ya Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang lapang, dan kesembuhan dari segala macam penyakit”.[57]
Di antara adab ketika meminum air zamzam adalah sebagaimana dijelaskan pada sebuah riwayat dalam Sunan Ibni Majah dan selainnya :
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَقَالَ : مِنْ أَيْنَ جِئْتَ ؟ قالَ : مِنْ زَمْزَمَ. قَالَ : فَشَرِبْتَ مِنْهَا كَمَا يَنْبَغِي ؟ قَالَ : وَكَيْفَ ؟ قَالَ : إِذَا شَرِبْتَ مِنْهَا فَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ، وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ، فَتَنَفَّسْ ثَلَاثًا، وَتَضَلُّعْ مِنْهَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَاحمدِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ آيَةًَ بَيْنَنَا...
“Bahwasannya seseorang datang kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas bertanya kepadanya : ‘Dari mana engkau datang ?’. Ia menjawab : ‘Dari sumur zamzam’. Ibnu ‘Abbas berkata : ‘Jika engkau minum air zamzam, maka menghadaplah ke kiblat, sebutlah nama Allah ‘azza wa jalla, bernafaslah tiga kali, dan perbanyaklah meminumnya. Apabila engkau telah selesai, maka pujilah Allah ‘azza wa jalla, karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Sesungguhnya tanda (pembeda) antara kami….” [al-hadits].[58]
Ini semua merupakan hal-hal yang menyangkut sifat tabarruk dengan meminum air zamzam. Namun apakah tabarruk dengannya ini dapat ditambah seperti membasuh anggota tubuh dengan air tersebut ?
Kita tidak mendapatkan keterangan mengenai masalah ini kecuali apa yang diriwayatkan oleh sebagian mereka dari ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahumallah bahwasannya ia berkata :
رأيت أبي غير مرة يشرب من ماء زمزم، يستشفي به، ويمسح به يديه ووجهه
“Aku pernah melihat ayahku beberapa kali meminum air zamzam, berobat dengannya, dan membasuh kedua tangan dan wajahnya”.[59]
Wallaahu a’lam.
Sekarang saya akan menguraikan dengan ringkas mengenai masalah-masalah penting lainnya yang berkaitan dengan pemakaian air yang diberkahi ini.
Hukum Wudlu dan Mandi Junub dengan Air Zamzam
Madzhab jumhur ulama adalah tidak dibenci (makruh) berwudlu dan mandi menggunakan air zamzam.
Dalam satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullah disebutkan bahwa beliau membencinya, karena telah ada satu atsar dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia pernah berkata mengenai air zamzam :
لست أحلها لمغتسل، وهي لشارب حل وبل
“Aku tidak membolehkannya bagi orang yang memakainya untuk mandi. Ia hanya boleh untuk orang yang meminumnya saja[60]”.[61]
Dan juga (alasannya adalah) karena ia menghilangkan apa yang menghalangi (seeorang) dari shalat, maka ia seperti menghilangkan najis dengannya (sehingga makruh mempergunakannya untuk wudlu dan mandi).[62]
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh jumhur adalah sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi rahimahullah :
النصوص الصحيحة الصريحة المطلقة في المياه بلا فرق، فأنه لم يزل المسلمون على الوضوء منه بلا إنكار
“Nash-nash yang shahih, sharih (jelas), lagi muthlaq yang berkenaan dengan segala macam air adalah tanpa pembedaan, bahwasannya kaum muslimin darinya tanpa adanya pengingkaran”.
Kemudian ia berkata :
ولم يصح ما ذكروه عن العباس، بل حكي عن أبيه عبد المطلب، ولو ثبت عن العباس لم يجز ترك النصوص به، وأجاب أصحابنا - الشافعية - أنه محمول على أنه قاله في وقت ضيق الماء لكثرة الشاربين.
“Tidak shahih riwayat yang berasal dari Al-‘Abbas, akan tetapi (yang benar) dihikayatkan riwayat tersebut dari bapaknya, yaitu ‘Abdul-Muthallib.[63] Meskipun seandainya riwayat itu shahih dari Al-‘Abbas, maka tetap tidak diperbolehkan untuk meninggalkan nash-nash yang ada karenanya. Para shahabat kami – yaitu Syafi’iyyah - menjawab bahwasannya riwayat tersebut dibawa pada pengertian Al-‘Abbas mengatakannya pada saat sulitnya (mendapatkan) air akibat banyaknya orang yang meminumnya[64]”.[65]
Dan dari perkataan Ibnu Qudamah[66] yang menguatkan peniadaan hukum makruh adalah sebagai berikut :
وشرفه لا يوجب الكراهة لاستعماله، كالماء الذي وضع فيه النبي صلى الله عليه وسلم كفه، أو اغتسل منه.
“Kemuliaannya tidaklah mengharuskan kemakruhan untuk mempergunakannya, seperti air yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan telapak tangan di dalamnya, atau mandi darinya”.[67]
Telah diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad, dari ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dalam kisah tentang haji Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta seember[68] air zamzam, yang kemudian meminumnya dan berwudlu dengannya.[69]
Adapun Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat makruhnya mandi dengan air zamzam selain wudlu. Hal itu disebabkan hadats dari janabah itu lebih berat. Maka, mandi janabah termasuk menghilangkan hadats besar di satu sisi, sehingga kewajiban mandi janabah itu ekuivalen dengan kewajiban mandi terkena najis. Oleh karena itu, larangan Al-’Abbas itu hanya untuk mandi, bukan untuk wudlu’.[70]
Hukum Istinja’ (Cebok) dengan Air Zamzam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum istinjaa’ dengan air zamzam dalam tiga perkataan :
(1) Haram dilakukan meskipun ia sebelumnya telah suci (tidak berhadats) dikarenakan kehormatan dan kemuliaan air zamzam. Sebagian lain beralasan bahwa ia termasuk bagian dari kebutuhan pokok seperti makanan, maka ia menjadi haram karena kedudukannya sebagai makanan.
(2) Makruh.
(3) Menyelisihi pendapat pertama,[71] yaitu tidak sepantasnya menghilangkan najis dengan air zamzam, apalagi istinjaa’, khususnya bila yang lainnya masih ada.[72]
Termasuk dari cabang pembahasan larangan bersuci dengan air zamzam : Larangan memandikan mayit dengannya, sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama.[73]
Al-Faakihiy[74] menyebutkan – seorang ulama generasi/abad ketiga – bahwasannya penduduk Makkah memandikan jenazah mereka dengan air zamzam. Apabila telah selesai memandikan mayit dan membersihkannya, maka yang lainnya juga mempergunakannya (air zamzam) untuk mandi dalam rangka mencari barakah.[75]
Hukum Memindahkan Air Zamzam Keluar Negeri Haram
Diperbolehkan membawa air zamzam ke seluruh negeri untuk ber-tabarruk dengannya dengan kesepakatan para ulama.[76] Asal pembolehan tersebut didasarkan pada riwayat yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia pernah membawa air zamzam, dan mengkhabarkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membawanya juga.[77]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن حمل شيئا من ماء زمزم جاز، فقد كان السلف يحملونه
“Barangsiapa yang membawa sesuatu dari air zamzam, maka diperbolehkan. Sungguh para salaf juga membawanya”.[78]
Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahullah telah berkata :
يجوز إخراج ماء زمزم وغيره من مياه الحرم، ونقله إلى جميع البلدان، لأن الماء يُستخلف، بخلاف نقل التراب والحجر.
“Diperbolehkan membawa air zamzam dan selainnya dari air-air yang berada di tanah haram, dan memindahkannya ke seluruh negeri; karena air tersebut dapat terganti (mengalir lagi), berbeda halnya dengan tanah dan batu”.[79]
Al-Imam As-Sakhawiy[80] rahimahullah berkata :
يذكر على بعض الألسنة أن فضيلته ما دام في محله، فإذا نقل يتغير، وهو شيء لا أصل له
“Sering terdengar dari mulut ke mulut bahwasannya keutamaan air zamzam adalah apabila masih di tempatnya, dan apabila telah dipindahkan maka akan hilang. Perkataan ini tidak ada salnya sama sekali”.
Kemudian ia menyebutkan beberapa dalil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian shahabat radliyallaahu ‘anhum yang menerangkan tentang hal tersebut untuk ber-tabarruk dengannya.[81]
Wallaahu a’lam.
[At-Tabarruk : Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Al-Judai’, hal. 279-294; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1411 – berikut terjemahannya : Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir, hal. 95-112; Cet. 1/1425 H/2004 M].

[1] Ia adalah Jibril ‘alaihis-salaam, seperti yang disebutkan pada riwayat lain dari Al-Bukhari rahimahullah.
[2] Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga) agar air tidak terus-menerus mengalir [‘Umdatul-Qaariy, 15/257].
[3] Dengan mem-fath-hah-kan miim, yang artinya : mengalir di atas bumi [‘Umdatul-Qaariy, 15/253].
[4] Shahih Al-Bukhari 3/113, Kitaabu Ahaadiitsil-Anbiyaa’, Baab : Yazuffuuna An-Nasalaanu fil-Masyiy.
[5] Mereka berasal dari Al-Qahthaniyyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah negeri Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke Makkah dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal [Mu’jamu Qabaailil-‘Arab Al-Qadiimah wal-Hadiitsah oleh ‘Umar Ridla Kuhalah, 1/183].
[6] Dari kitab Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy Al-Makkiy 1/247-248 dan Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 259; dengan sedikit perubahan.
[7] Bukan menjadi rahasia lagi pada masa sekarang mengenai perhatian yang besar dari pemerintahan Saudi – semoga Allah senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan – terhadap zamzam. Lihatlah – jika perlu – mengenai usaha besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun sumur zamzam dan menyediakan airnya bagi peziarah negeri haram, dalam ketetapan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tertanggal 13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial Wakaalatul-Anbaa’ hal. 47-51, Cet. Tahun 1408 H.
[8] Lihat Mu’jamul-Buldaan oleh Al-Hamawiy 3/137, Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy 1/252, dan Tuhfatul-Raaki’i wal-Masaajidi fii Ahkaamil-Masaajidi oleh Abu Bakr Al-Jaraa’iy hal. 57.
[9] Lihat Mu’jamul-Buldaan oleh Al-Hamawiy 3/148, Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy 1/251-252, dan Tuhfatul-Raaki’i wal-Masaajid hal. 58-60.
[10] Dikeluarkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jamul-Kabiir (11/98).
Al-Haafidh Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir, dan para perawinya adalah tsiqah, dan juga Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya” [At-Targhiib wat-Tarhiib oleh Al-Mundziriy, 2/209]. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsamiy [lihat Majma’uz-Zawaaid, 3/286]. As-Suyuthiy mengatakan hadits ini hasan [Al-Jaami’ush-Shaghiir, 2/10]. Al-Albani berkata : “Isnad hadits ini minimal berderajat hasan” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 3/45]. Dan saya tidak menemukannya hadits ini dalam Shahih Ibni Hibbaan.
[11] Shahih Al-Bukhari 2/167, Kitaabul-Hajj, Baab Maa Jaa-a fii Zamzam.
[12] ‘Umdatul-Qaariy, 9/277.
[13] Beliau adalah ‘Umar bin Ruslaan bin Nashiir Al-Kinaaniy Al-‘Asqalaniy Al-Bulqiiniy Al-Mishriy Asy-Syafi’iy, Abu Hafsh Siraajuddin; haafidh, faqiih, dan mujtahid. Memiliki beberapa karya tulis, diantaranya : Mahaasinul-Ishthilaah fil-Hadiits dan Al-Ajwiibatul-Mardliyyah ‘alal-Masaailil-Makkiyyah. Wafat di Kairo tahun 805 H.
[14] Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy, 1/252.
[15] Lihat Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 268.
[16] Beliau adalah ‘Abdurrahiim bin Al-Husain bin ‘Abdurrahman Al-‘Iraqiy, Abu Fadhl Zainuddin, seorang imam yang dikenal dengan nama : Al-Haafidh Al’Iraqiy. Ia seorang haafidh di masanya. Beliau sibuk dengan ilmu hadits dan menguasainya. Mempunyai beberapa karya tulis diantaranya : Al-Alfiyyah fii Mushthalahil-Hadiits, Nidhaam Taqriibil-Qur’an, dan Taqriibul-Asaaniid wa Tartiibil-Masaanid. Wafat di Kairo pada tahun 806 H.
Lihat Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy hal 543, Syadzdzaraatudz-Dzahab 7/55, Al-Badruth-Thaali’ 1/354, dan Al-A’laam 3/344.
[17] Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy, 1/252.
[18] Idem, 1/256.
[19] Al-‘Ukanu dalam bentuk jamak dari ‘uknah. Ia merupakan lipatan yang terdapat di perut karena kegemukan. Jika dikatakan,”Ta’akkanal-bathnu”, yaitu jika menjadi berlipat-lipat. Diambil dari kitab Ash-Shihaah oleh Al-Jauhariy, 6/2165.
[20] Yakni tipis dan kurus. Kata السَّخْفُ dengan mem-fat-hah-kan siin, yaitu hidup yang ringan; dan dengan men-dlammah-kannya (السُّخْفُ) berarti akal yang lemah. Dikatakan bahwa ia adalah keringanan yang menyerang manusia bila lapar. Di antara arti kata dari As-sakhfu yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun yang lainnya [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 2/350].
[21] Shahih Muslim 4/1922, Kitaabu Fadlaailish-Shahaabah, Baab Min Fadlaaili Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu.
[22] An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/125.
[23] Zaadul-Ma’aad oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[24] Lihat catatan kaki no. 10.
[25] Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisiy dalam Musnad-nya [lihat Minhatul-Ma’buud fii Tartiibi Musnad Ath-Thayaalisiy Abi Dawud, 2/203]. Dikeluarkan juga oleh Al-Bazzaar [lihat Kasyful-Astaar ‘an Zawaaidil-Bazzaar, 2/47].
Al-Haafidh Al-Mundziriy berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dengan sanad shahih” [At-Targhiib wat-Tarhiib, 2/209]. Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir. Para perawi Al-Bazzaar adalah para perawi Ash-Shahiih” [lihat Majma’uz-Zawaaid wa Manba’ul-Fawaaid oleh Al-Haitsami 3/286].
As-Suyuthi menghukumi hadits tersebut shahih [Al-Jaami’suh-Shaghiir, 2/28].
Hadits tersebut asalnya diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, sebagaimana yang telah lewat.
[26] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/291 dan Ibnu Hibbaan dalam Shahiiih-nya (Al-Ihsaan bi-Tartiibi Shahiih Ibni Hibban 7/623), Kitaabuth-Thibb.
Dikeluarkan pula oleh Al-Bukhari dalam Shahiih-nya tanpa jazm (“maka dinginkanlah dengan air” atau : “dengan air zamzam”). Hamaam (salah seorang perawi) telah ragu dalam membawakannya.
Telah ada beberapa hadits dalam masalah ini (yaitu : “maka dinginkanlah dengan air”); sebagian ulama berkata : “Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits ini “dengan air zamzam” bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi mereka dan yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada diri mereka”. Wallaahu a’lam [dari kitab Fat-hur-Rabbaaniy li-Tartiibi Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy, karangan Ahmad bin ‘Abdirrahman Al-Bannaa, 17/159]. Lihat Ath-Thibbun-Nabawiy oleh Ibnul-Qayyim hal. 22.
[27] Zaadul-Ma’ad oleh Ibnul-Qayyim, 4/393.
[28] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1018, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam; serta Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/357. Ad-Dimyaathiy berkata : “Diriwayatkan oleh oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad hasan” [Al-Muttajar Ar-Raabih fii Tsawaabil-‘Amalish-Shaalih oleh Ad-Dimyaathiy, hal. 318, Baab Tsawaabu Syurbi Maai Zamzam].
Ibnul-Qayyim berkata : “Hadits hasan” [Zaadul-Ma’aad, 4/393]. Az-Zarkasyi berkata : “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan yang shahih” [I’laamus-Saajid fii Ahkaamil-Masaajid, hal. 206]. As-Suyuthiy berkata : “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad jayyid” [Al-Haawiy lil-Fataawaa, 2/81]. Al-Albani berkata : “Shahih” [lihat Irwaaul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris-Sabiil, 4/320].
[29] Beliau adalah Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Makhzuumiy Al-Muqri’; mufassir dan haafid, maula Saaib bin Abu As-Saaib. Ia seorang yang faqiih, wara’, dan ahli ibadah”. Mujaahid pernah berkata : “Aku membaca di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun dan bagaimana ia turun”. Wafat tahun 103 H.
Lihat : Tadzkiratul-Huffadh 1/92, Tahdziibut-Tahdziib 10/42, dan Thabaqaatul-Huffadh oleh As-Suyuthiy hal. 42.
[30] Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya lalu keluarlah air. Al-Hamzah adalah lubang pada dada. Hazamtul-bi’r, yaitu menggali sumur. Dari kitab An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits wal-Atsar oleh Ibnul-Atsir, 5/263.
[31] Dikeluarkan oleh Al-Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118 dan Al-Azraqiy dalam kitabnya Akhbaaru Makkah wa Maa Jaa-a Fiihaa minal-Aatsaar 2/50, dan ini adalah lafadh darinya.
Dikeluarkan juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya (2/289) secara marfu’ dari jalan Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, akan tetapi sanadnya dla’if. Al-Albani berkata : “Yang benar, mauquf pada Mujaahid”. Kemudian ia berkata : “Dan apabila dikatakan bahwasannya ia tidaklah berkata berdasarkan ra’yu-nya, maka riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut dihukumi marfu’. Itu dengan syarat jika riwayat tersebut selamat (dari cacat). Namun riwayat tersebut adalah mursal, sehingga dla’if. Wallaahu a’lam”.
Silakan periksa : Irwaaul-Ghaliil 4/329-332, Al-Maqaashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiir minal-Ahaadiitsi Musytahirati ‘alal-Alsinah oleh As-Sakhaawiy hal. 375, dan Kanzul-‘Ummal fii Sunanil-Aqwaal wal-Af’aal oleh ‘Alauddin Al-Hindiy 12/224.
[32] Lihat Zaadul-Ma’aad oleh Ibnul-Qayyim 4/393, Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy 1/255, Al-Maqaashidul-Hasanah oleh As-Sakhaawiy hal. 357, dan Al-Jaamiul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah hal. 364-367.
[33] Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah, hal. 267.
[34] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Abu Bakr, yang dikenal dengan nama : Ibnul-‘Arabiy Al-Isybiliy Al-Maalikiy; al-imam, al-‘allamah, al-haafidh, al-qaadli. Seorang ‘aalim, faqiih, zuhud, dan ahli ibadah. Beliau mempunyai beberapa karya tulis, di antaranya adalah kitab tafsir yang terkenal, ‘Aaridlatul-Ahwadziy fii Syarh Jaami’it-Tirmidziy, dan Al-Mahshuul fil-Ushuul. Wafat pada tahun 543 H.
Lihat : Wifaayatl-A’yaan 4/296, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 20/197, Tadzkiratul-Huffadh 4/1294, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab 4/141.
[35] Lihat : Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubi, 9/370.
[36] I’laamus-Saajid bi-Ahkaamil-Masaajid oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[37] Dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Hamiid dalam kitab Hidaayatun-Naasik ilaa Ahammil-Manaasik, hal. 51, dari Ibnu ‘Arafah.
[38] Yaitu pada musim haji.
[39] I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi, hal. 206.
[40] Dari keputusan Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah tahun 1406 H, khususnya zamzam; didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul-Anbaa’ As-Su’uudiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang zamzam, Tha’aamu Tu’m wa Syifaau Suqmin, Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal. 109 dan setelahnya). Penulis menyebutkan beberapa tabel untuk mengetahui kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap semacamnya dari sumur-sumur yang ada di dekatnya.
[41] Lihat Majalah Al-‘Arabiyyah, edisi 127, hal. 98, bulan Sya’ban 1408 H.
[42] Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/59, I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi hal. 206, dan Sufaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy 2/256.
[43] Zaadul-Ma’aad 4/392.
[44] Inzi’uu (انْزِعُوا) dengan meng-kasrah-kan zaa’, artinya : berikan minum dengan timba dan ambil terus dengan menarik talinya. Dikatakan oleh An-Nawawi dalam penjelasannya atas Shahih Muslim 8/194.
[45] Maksudnya : Jika bukan karena khawatiranku bahwa hal tersebut diyakini sebagai salah satu bagian dari manasik haji oleh manusia dan akan berdesak-desakan menujunya, dengan cara membuat kalian kepayahan dan menahan kalian untuk member minum, maka aku akan turut memberi minum bersama kalian oleh sebab banyaknya keutamaan member minum tersebut”. Dari kitab Syarhun-Nawawi li-Shahiih Muslim 8/194.
[46] Bagian dari hadits panjang yang dikelaurkan oleh Muslim 2/892, Kitaabul-Hajj, Baab Hajjatin-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dikeluarkan juga oleh Al-Bukhari secara ringkas dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Lihat Shahih Al-Bukhari 2/167.
[47] Shahih Al-Bukahri 2/167 Kitaabul-Hajj, Maa Jaa-a fii Zamzam; dan Shahih Muslim 3/1601 Kitaabul-Asyribah, Baab fisy-Syurbi min Zamzama Qaaiman.
[48] Syarh Shahih Muslim 13/195.
[49] ‘Umdatul-Qaariy oleh Al-‘Ainiy, 9/278.
[50] Shahih Al-Bukhari 2/167.
[51] Lihat kitab Adz-Dzikru wad-Du’aa wal-‘Allaaj bir-Ruqaa minal-Kitaabi was-Sunnati oleh Sa’iid bin ‘Ali Al-Qahthaniy hal. 65.
[52] Sebagian ulama menyebutkan bahwa orang yang berpuasa di Makkah dianjurkan berbuka puasa dengan air zamzam karena keberkahannya. Lihat I’laamul-Masaajid oleh Az-Zarkasyi hal. 216.
[53] Tadlallu’ adalah meminumnya dengan banyak hingga memenuhi lambungnya [Ani-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir, 3/97].
[54] Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1017, Kitaabul-Manaasik, Baab Asy-Syurbi min Zamzam, dan dalam hadits tersebut terdapat satu kisah. Al-Bushairiy berkata : “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat” [Mishbaahuz-Zujaajah, 3/34].
Dikeluarkan juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/288, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/472 Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/113.
* Catatan : Hadits ini adalah dla’if. Lihat Sunan Ibni Majah ‘alaa Hukmil-Albaniy yang disusun oleh Masyhur Hasan Salmaan, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1.- Abu Al-Jauzaa’.
[55] Lihat Fathul-Baariy 10/102.
[56] Silakan periksa : Shahih Al-Bukhari 6/253 Kitaabul-Asyribah, Baab Syurbil-Barakah wal-Maail-Mubaarak.
[57] Dikeluarkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya 2/228, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, Kitaabul-Manaasik, dan ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/113.
[58] Telah lalu takhrij-nya (lihat : cacatan kaki no. 54).
[59] Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabiy 11/212 dan Al-Aadaabusy-Syar’iyyah wal-Manhul-Mar’iyyah oleh Ibnu Muflih Al-Hanbaliy 3/110.
[60] Al-Hill maknanya adalah halal, wabill artinya mubah – diambil dari bahasa Humair [Syarus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 7/300]. Dikatakan juga artinya adalah asy-syifaa’ (obat), dari perkataan : balla man maridlahu wa aballa [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir 1/154].
[61] Diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/114 dengan lafadh (وهي لشارب ومتوضء) “Dan ia (air zamzam) adalah untuk orang yang meminumnya dan yang berwudlu dengannya”; dari Al-‘Abbas dan juga dari anaknya. Demikian pula Al-Fakihiy dalam Akhbaaru Makkah 2/63 dan Al-Azraqiy dalam Akhbaaru Makkah 2/58.
[62] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/18 dan Al-Majmu’ Syarul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 1/91.
[63] Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/43. Ibnu Katsir me-rajih-kan riwayat tersebut berasal dari ‘Abdul-Muthallib, karena ia merupakan orang yang memperbaharui penggalian sumur zamzam. Adapun Al-‘Abbas dan anaknya, mereka berdua juga mengatakan hal tersebut pada masa mereka berdua sebagai pemberitahuan dan informasi dengan apa yang disyaratkan oleh ‘Abdul-Muthallib saat menggali sumur zamzam tersebut. Wallaahu a’lam. Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 2/247.
[64] Telah datang satu riwayat yang dibawakan oleh Al-Azraqiy bahwa sebab perkataan ini adalah bahwa Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu mendapatkan seorang laki-laki yang sedang mandi di kolam zamzam dengan telanjang. Dan dalam riwayat yang lain darinya disebutkan bahwa laki-laki tersebut mandi dengan air zamzam, dan ketika itu Al-‘Abbas mendapatinya sehingga ia sangat marah akan hal itu. Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Azraqiy 2/58.
[65] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 1/91.
[66] Beliau adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudaamah Al-Maqdisiy, Ad-Dimasyqiy Ash-Shaalihiy Al-Hanbaliy Abu Muhammad Muwaffaquddin. Al-imam, al-‘allamah, dan al-mujtahid. Meskipun beliau adalah lautan ilmu, namun beliau adalah pribadi yang wara’, zuhud, banyak ibadah dan baik akhlaqnya. Mempunyai beberapa karya tulis yang banyak dan bermanfaat diantaranya : Al-Mughni fil-Fiqhi, Raudlatun-Naadhir fii Ushuulil-Fiqh, Mas-alatul-‘Ulluw, Dzammut-Ta’wiil, dan Fadlaailush-Shahaabah. Wafat pada tahun 620 H.
Lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 22/165, Al-Bidaayah wan-Nihaayah 13/99, Adz-Dzail ‘alaa Thabaqaat Al-Hanaabilah oleh Ibnu Rajab 2/133, dan Syadzdzaraatudz-Dzahab 5/88.
[67] Al-Mughni 1/18.
[68] As-Sajlu : bejana yang penuh berisi air [An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir 2/344].
[69] Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/76. Az-Zarkasyi berkata tentang air zamzam : “Telah shahih bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya”. I’laamus-Saajid oleh Az-Zarkasyi hal. 136. Asal hadits ini adalah dalam Shahih Muslim dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu – telah lewat isyarat mengenai hadits ini – namun di dalamnya tidak terdapat perkataan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu dengannya.
* Catatan : Syu’aib Al-Arna’uth menyatakan sanad riwayat tersebut adalah hasan.- Abu Al-Jauzaa’.
[70] Majmu’ Fataawaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah 12/600. Lihat juga Badaai’ul-Fawaaid oleh Ibnul-Qayyim 4/48.
[71] I’laamus-Saajid bi-Ahkaamil-Masaajid hal. 136-137 dengan perubahan dan peringkasan. Lihat Badaai’ul-Fawaaid 4/47.
[72] Syifaaul-Gharaam bi-Akhbaaril-Baladil-Haraam oleh Al-Faasiy 1/258 dengan sedikit perubahan.
[73] Idem, 1/258.
[74] Beliau adalah Muhammad bin Ishaaq bin Al-‘Abbaas Al-Faakihiy Abu ‘Abdillah Al-Makkiy Al-Muarrikh, pengarang kitab Akhbaaru Makkah Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih. Wafat pada tahun 272 H.
Lihat Kasyfudh-Dhunuun 1/306, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/20, Al-A’laam 6/28, dan muqaddimah juz pertama dari kitab Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy dengan muhaqqiq : ‘Abdul-Malik bin ‘Abdillah bin Duhaisy.
[75] Akhbaaru Makkah fii Qadiimid-Dahr wa Hadiitsih oleh Al-Faakihiy 2/48.
[76] Lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 7/300, Syifaaul-Gharaam oleh Al-Faasiy 1/258, dan Al-Jaami’ul-Lathiif oleh Ibnu Dhahiirah hal. 277. Bahkan membawa air zamzam tersebut sangat disukai (mustahab) di sisi ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Lihat dua referensi terakhir.
[77] Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/295, Kitaabul-Hajj, dan ia berkata : “Hadits hasan gharib”; Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/485 Kitaabul-Manaasik; dan Al-Faakihiy dalam Akhbaaru Makkah 2/49.
[78] Majmu’atur-Rasaail Al-Kubraa oleh Ibnu Taimiyyah 2/413. Lihat Akhbaaru Makkah oleh Al-Faakihiy 2/50.
[79] I’laamus-Saajid hal. 137.
[80] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Syamsuddin Abul-Khair As-Sakhaawiy Al-Mishriy Asy-Syaafi’iy; al-imam, al-haafidh, al-muarrikh (ahli sejarah), dan al-adiib (sastrawan). Beliau merupakan pendatang negeri Haramain, kemudian melakukan perjalanan ke segala penjuru negeri dalam rangka menuntut ilmu. Menulis kitab dalam jumlah yang sangat banyak, diantaranya : Fathul-Mughiits bi-Syarhi Alfiyyatil-Hadiits, Adl-Dlau’ul-Laami’ li-Ahlil-Qarnit-Taasi’, Al-Qaulul-Badii’ fii Shalaati ‘alal-Habiibisy-Syafii’, dan An-Nukhbatul-Lathiifah fii Akhbaaril-Madiinah Asy-Syariifah. Wafat pada tahun 902 H.
Lihat Syadzdzaraatudz-Dzahab 8/16, Hadiyyatul-‘Aarifiin 6/219, dan Al-A’laam 6/194.
[81] Lihat Al-Maqaashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiiri minal-Ahaadiitsil-Musytaharah ‘alal-Alsinah oleh As-Sakhawiy hal. 358. Silakan periksa juga Al-Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih Al-Hanbaliy 3/110.