Sengaja
saya tulis singkat artikel ini pasca ditentukannya cawapres oleh bapak SBY agar
tidak dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap cawapres yang diajukan oleh
Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“PKS
Bukan Wahabi, PKS Toleran”,
begitulah kira-kira judul tulisan di website resmi PKS beberapa waktu lalu
(lihat : http://www.pk-sejahtera.org/v2/main.php?op=isi&id=7099).
Andaikata tidak ada embel-embel “Wahabi”, tidak ada hal istimewa yang
membuat saya tertarik untuk membaca dan memberi komentar. Jelasnya, inilah yang
dikatakan bapak Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW) :
"Itu
pendapat klasik yang tidak benar yang selalu dimunculkan menjelang pilkada
maupun pemilu. Itu adalah fitnah belaka. Kalau saja kami Wahabi tentu kami tidak
akan mendirikan partai politik, sebab kaum Wahabi mengharamkan dan membid'ahkan
partai politik."
Memang
bisa dibenarkan bahwa “Wahabi” membid’ahkan dan mengharamkan partai politik.
Tidak lain karena partai politik secara hakekat hanya akan memecah belah umat
dan merupakan produk asli rezim demokrasi yang diharamkan dalam Islam. Namun
anehnya, ketika ada sebagian ulama “Wahabi” berfatwa bolehnya
mencoblos/mencontreng dalam Pemilu serta duduk di kursi parlemen karena alasan
memilih mafsadat terkecil di antara dua mafsadat, salah satu yang sibuk
menyebarkan fatwa ini ke berbagai media adalah ikhwan PKS. Saya pribadi tidak
tahu secara pasti apa tujuannya. Apakah PKS sedang menjalankan politik muka dua
? Entahlah,…. namun – kalau boleh sedikit beranalisa –, dua fenomena ini
nampaknya sedang menjelaskan kepada kita akan satu maksud tersembunyi untuk
mengeruk suara dan dukungan dari dua kutub yang berlainan. Kasus pertama, ingin
merebut simpati dari warga NU (atau yang semisalnya) yang notabene anti-Wahabi,
sedangkan kasus kedua ingin mengumpulkan dukungan dari kalangan “Wahabi” yang
‘anti NU’[1] ….. Cukup ‘cerdik’ !
Di
sisi lain, saya bertanya-tanya apakah bapak HNW tidak tahu atau pura-pura tidak
tahu bahwasannya anggapan “Wahabi” itu tidaklah terkait pada bahasan bid’ah dan
haramnya partai secara khusus. Namun, istilah “Wahabi” lebih mengarah pada
istilah gerakan dakwah anti kesyirikan, anti kebid’ahan, dan anti khurafat
secara umum. Atau kalau boleh menggunakan bahasa awam, orang-orang “Wahabi” ini
adalah orang-orang yang anti sama tawassulan[2], shalawatan[3], tahlilan, yasinan, haul-haul kuburan,
thariqah (shufi), kultus individu pada kiyai, habib, dan semacamnya ?
Mari
kita baca lebih lanjut :
Hidayat
menegaskan bahwa PKS berjuang untuk kejayaan NKRI. Karena itu, hal-hal yang
melekat dalam konteks ke Indonesiaan seperti masalah pluralitas dan toleransi
akan selalu dijunjung tinggi. "Prinsipnya kita memang menjunjung pluralitas dan
toleransi dalam kehidupan agama di Indonesia tercinta ini," papar
Hidayat.
Sebuah
kalimat yang sumir (atau coba disumirkan ?). Apa makna pluralitas yang
diucapkan itu ? Jika kita coba kaitkan dengan isu “Wahabi”, nampaknya bapak HNW
ingin mengatakan bahwa PKS itu plural lagi toleran terhadap apa yang di-anti-kan
oleh “Wahabi”.
“Bersama
PKS, aktifitas keagamaan Anda yang dibid’ahkan dan disyirikkan oleh “Wahabi”
akan aman dan terlindungi”,
begitulah mungkin sinyal halus yang hendak dikirimkan kepada masyarakat.
Jika
memang benar demikian, maka banyak kritik yang sebelumnya banyak ditujukan
kepada ikhwan PKS benar adanya. Ikhwan PKS itu mlempem dan loyo
dalam dakwah kepada tauhid wa sunnah (dan memerangi apa yang menjadi
lawan keduanya yaitu syirik dan bid’ah), khususnya jika sudah berhadapan dengan
target raupan suara dan jabatan. Oleh karena itu, jangan Anda terlalu berharap
bahwa ikhwan PKS akan memberantas berbagai kesyirikan dan kebid’ahan yang banyak
dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Beragam aktifitas kesyirikan di kuburan
para wali pun mungkin tetap akan lestari di bawah naungan PKS. Biarlah bid’ah
dan kesyirikan itu tetap ada asalkan bisa maju dan menguasai Senayan. Hal ini
mirip dengan prototype PKS yang ada di Sudan ketika salah seorang tokohnya yang
bernama Dr. Hasan At-Turabi mengatakan :
إنـهم يهتمون بالأمور العقائدية وشرك القبور ولا يهتمون بالشرك
السياسي فلنترك هؤلاء القبوريين يطوفون حول قبورهم حتى نصل إلى قبة
البرلمان
”Sesungguhnya
mereka memperhatikan permasalahan ’aqidah dan syirik terhadap kuburan. Akan
tetapi mereka tidak memperhatikan syirik dalam perpolitikan
(asy-syirkus-siyaasy). Hendaknya kita biarkan para quburiyyun itu
thawaf di sekitar kuburan mereka sampai kita mencapai kubah parlemen.” [diambil
dari Majalah Al-Istiqaamah, Rabi’ul-Awwal 1408 H].
Bedanya,
kata-kata bapak HNW tidak sevulgar Dr. At-Turabi – walau nuansanya boleh
dibilang sama.
Parah
memang jika demikian. Apalagi secara halus PKS telah menyatakan sikap terbukanya
(dan juga komprominya) terhadap lawan-lawan politiknya dari kaum apapun ketika
mengatakan :
"Sejak
Pemilu 2004 lalu kehadiran PKS telah diterima dengan baik oleh kalangan sekuler
maupun nonmuslim sekalipun," papar PKS.
"Terbukti
PKS diajak berkoalisi oleh capres SBY-JK dan pemilih PKS ternyata sebagian
adalah kalangan nonmuslim”.
Ditambah
lagi dengan jargon-jargon kampanye legislatif yang lalu, seperti : “Memangnya PKS Bisa Hijau,
Kuning, Biru, dan
Merah; Jika untuk Indonesia yang Lebih Baik, Mengapa Tidak
?”[4]. Apa artinya ? Bukankah hijau itu
maknanya partai Islam, kuning maknanya partai Golkar, biru maknanya partai
Demokrat, dan merah maknanya partai nasionalis sekuler (PDIP dan sebangsanya) ?
Orang awam yang membacanya pun dengan cekatan akan menyimpulkan bahwa PKS adalah
partai semua golongan, partai semua aliran, partai semua pemahaman, dan yang
lainnya. Jika ada orang yang memplesetkan PKS saat ini adalah Partai Keranjang
Sampah (seperti banyak dikatakan oleh sebagian ikhwan eks laskar jihad), secara
substansi tidaklah terlalu keliru – walau dari segi bahasa kurang nyaman untuk
dibaca dan didengar.
Politik
praktis yang ada di jaman sekarang telah memberangus al-wala’ wal-bara’
terhadap segala macam penyimpangan. Sebuah politik ngawur tanpa prinsip
yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan.
Inikah
politik yang diajarkan oleh Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
Saya persilakan bagi para Pembaca untuk menjawabnya…..
Abu
Al-Jauzaa’
[1]
Anti NU yang saya maksud bukan secara keorganisasian, namun lebih tertuju
pada fikrah pemahaman agama yang lazim ada di warga NU.
[4]
Dengan diringkas. Sebagaimana tertulis di banyak selebaran yang tertempel di
Kota Bogor dan sekitarnya.
0 comments:
Post a Comment