Ijma’
adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan pijakan oleh para ulama
Ahlis-Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah ‘ilmiyyah
diiniyyah.
Al-Imam
Asy-Syafi’iy berkata :
وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو
القياس
“Sumber
ilmu (ada empat), yaitu : Al-Kitaab, As-Sunnah, Ijma’, atau Qiyas”
[Ar-Risaalah, hal. 39 dan I’laamul-Muwaqqi’iin,
4/105].
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah berkata :
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج
عن إجماعهم؛
“Apabila
telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak
boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma’ mereka” [Al-Fataawaa,
10/20].
Ijma’
adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan ilmu dan agama. Para ulama
menimbang dengan tiga ushul ini terhadap seluruh apa yang ditempuh
manusia, baik ucapan maupun perbuatannya, yang nampak maupun yang tersembunyi
yang memiliki hubungan dengan agama [Al-Wasithiyyah].
Keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan,
karena antara satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Oleh
sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar dalil-dalil syar’i adalah
Al-Qur’an, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas Al-Qur’an, atau sebagai
cabang dan semua bersandar kepadanya. Boleh juga kita katakan sumber dalil
adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan As-Sunnah itu
datang dari Allah subhaanahu wa ta’ala sebagai penjelas terhadap
Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan qiyas, penetapannya berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
الكتاب، والسنة،والإجماع، فمدلول الثلاثة واحد، فإن كل ما في
الكتاب فالرسول موافق له، والأمة مجمعة عليه من حيث الجملة، فليس في المؤمنين إلا
من يوجب اتباع الكتاب، وكذلك كل ما سنه الرسول صلى الله عليه وسلم فالقرآن يأمر
باتباعه فيه، والمؤمنون مجمعون على ذلك، وكذلك كل ما أجمع عليه المسلمون، فإنه لا
يكون إلا حقاً موافقاً لما في الكتاب والسنة
“Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam Al-Qur’an
disetujui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh
umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk
mengikuti Al-Qur’an. Demikian juga, semua yang disunnahkan oleh Rasul
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur’an telah memerintahkan untuk
mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula,
seluruh masalah yang kaum muslimin telah sepakat atasnya, maka itu adalah
kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Al-Fataawaa,
7/40].
Hujjahnya Ijma’ ditunjukkan oleh yang lainnya (maksudnya : hujjahnya
Ijma’ ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
فهذه ثلاثة أصول يعتمد عليها في العلم والدين، وهي: الكتاب،
والسنة، والإجماع. أما الكتاب والسنة، فأصلان ذاتيان، وأما الإجماع، فأصل مبني على
غيره، إذ لا إجماع إلا بكتاب أو سنة.
“Ini merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepada ilmu dan
agama. Ushul yang pertama adalah Al-Qur’an, ushul yang kedua adalah
As-Sunnah, dan ushul yang ketiga adalah Ijma’. Al-Qur’an dan As-Sunnah
berdiri dengan sendirinya, sedangkan ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena
tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Syarh
Al-Washithiyyah, 1/324].
Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud hablullah
adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’; karena ketiganya menunjukkan pada satu
hakekat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dan sebagian besar umat bersepakat
atasnya.
Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’ :
Adakah Ijma’ Setelah Para Shahabat ?
Jumhur ulama’ menetapkan adanya Ijma’ setelah para shahabat. Sedangkan
Dawud bin ’Ali Adh-Dhaahiriy, Ibnu Hazm, dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ijma’
hanya ijma’ para shahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa
Ijma’ tidak hanya Ijma’ para shahabat. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Khaathib
Al-Baghdadi (Al-Faqih wal-Mutafaqqih, 1/327-328), Asy-Syinqithiy
(Mudzakirah fii Ushulil-Fiqh, hal. 155), Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih
Al-’Utsaimin; dan penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Ijma’ para shahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahui. Adapun
Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit terjadi dan sulit untuk mengetahuinya.
Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam menukil Ijma’. Al-Imam
Asy-Syafi’iy berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون
قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين
أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر
الواحد بما وصفت من أن ذلك موجودا على كلهم
”Kalau
boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu : ‘Telah Ijma’ kaum
muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad)
(dalam hujjah)’ - dimana tidak didapatkan seorang pun dari kalangan
fuqahaa’ kecuali ia menetapkan hadits ahad - ; maka itu adalah boleh
bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan
fuqahaa’ bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai
hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka (para
ulama)” [Ar-Risaalah, hal. 458. Lihat juga Ar-Risaalah, hal.
534].
Syaikhul-Islam
dalam Majmu’atul-Fataawaa (11/341) berkata :
الإجماع، وهو متفق عليه بين عامة المسلمين من الفقهاء والصوفية
وأهل الحديث والكلام وغيرهم في الجملة، وأنكره بعض أهل البدع من المعتزلة والشيعة،
لكن المعلوم منه هو ما كان عليه الصحابة، وأما ما بعد ذلك فتعذر العلم به غالبًا،
ولهذا اختلف أهل العلم فيما يذكر من الإجماعات الحادثة بعد الصحابة واختلف في مسائل
منه كإجماع التابعين على أحد قولي الصحابة، والإجماع الذي لم ينقرض عصر أهله حتى
خالفهم بعضهم، والإجماع السكوتي وغير ذلك
“Secara
umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, dari kalangan
fuqahaa’, kaum shufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya; walaupun
diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazillah dan Syi’ah.
Selanjutnya, Ijma’ yang diakui adanya adalah Ijma’ para shahabat. Adapun
setelahnya, merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena itu,
para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi setelah para
shahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah yang masuk ke dalam
bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in terhadap salah satu pendapat shahabat. Juga
Ijma’ yang terjadi sebelum ulama masanya habis, sehingga sebagian dari mereka
menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ Sukuti, dan yang lainnya”
[selesai].
2.
Riwayat
Al-Imam Ahmad yang mengatakan :
“Barangsiapa
yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.
Para
ulama telah menjelaskan maksud ucapan Al-Imam Ahmad dengan beberapa kemungkinan,
disebabkan beliau sendiri dalam banyak masalah telah ber-hujjah dengan
Ijma’ dan menjadikannya sebagai dalil, diantaranya :
Pertama.
Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menukil Ijma’, agar tidak meudah
mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian secara seksama terhadap seluruh
perkataan ulama.
Kedua.
Bahwasannya Al-Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’ secara mutlak, tetapi hanya
menunjukkan sulit terjadinya dan sulit mengetahuinya.
Al-Imam
Ibnul-Qayyim berkata :
ليس مراده بهذا استبعاد وجود الإجماع، ولكن أحمد وأئمة الحديث
بُلُوا بمن كان يرد عليهم السنة الصحيحة بإجماع الناس على خلافها، فبين الشافعي
وأحمد أن هذه الدعوى كذب، وإنه لا يجوز رد السنن بمثلها.
“Ucapan
Ahmad bukan berarti menunjukkan tidak mungkin adanya Ijma’ (setelah shahabat),
tetapi Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang yang menolak As-Sunnah yang
shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu, Asy-Syafi’iy dan Ahmad menjelaskan bahwa
itu pernyataan dusta dan tidak boleh menolak sunnah dengan semisalnya”
[Mukhtashar Ash-Shawaaiq, hal. 506]. [1]
3.
Jika
Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti, maka tetap menjadi hujjah
bagi orang yang setelahnya.
Jika
para ulama (mujtahidiin) Ijma’ pada satu masa setelah para shahabat dan
diketahui dengan pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang
setelahnya, sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan tidak
ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanya Ijma’ para
shahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan sebuah dalil sehingga ada dalil yang
mengkhususkannya. Demikian juga, harus membedakan antara adanya perbedaan,
apakah mungkin Ijma’ setelah para shahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’
atau tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah, apabila ia
mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah hujjah baginya.
Al-Imam
Al-Ghazaliy berkata : “Dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan akal yang
menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah yang tidak membedakan suatu waktu dengan
waktu yang lainnya. Apabila para tabi’in bersepakat, itu adalah ijma’ seluruh
umat. Dan barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia telah menempuh jalan selain
jalan orang-orang yang beriman”.
Apakah Ijma’ Harus Ada Dasarnya dari Al-Kitab dan
As-Sunnah ?
Berdasarkan dengan point-point berikut ini, maka Ijma’ harus
berlandaskan dalil syar’i :
1. Jumhur ’ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan bersepakat kecuali di
atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin bersepakat di atas hawa nafsu
dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau berkata tanpa dalil. Umat ini
telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas kebatilan). Dan apabila berkata
kepada Allah dengan tanpa dalil, berarti ini merupakan suatu
kesalahan.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
فلما احتمل المعنيين وجب على أهل العلم أن لا يحملوها على خاص
دون عام إلا بدلالة من سنة رسول الله أو إجماع علماء المسلمين الذين لا يكن أن
يجمعوا على خلاف سنة رسول الله
”Apabila
nash mengandung dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak membawa makna
nash kepada khusus, selain dari yang umum, kecuali dengan dalil Sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau Ijma’ ulama muslimin, yang
mereka tidak mungkin bersepakat menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 323].
Beliau rahimahullah berkata :
ونعلم أن عامتهم لا تجتمع على خلاف لسنة رسول
الله
”Kita mengetahui bahwa mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk
menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam”
[Ar-Risaalah, hal. 472].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وذلك لأن كل ما أجمع عليه المسلمون فإنه يكون منصوصاً عن رسول،
فالمخالف لهم مخالف للرسول، كما أن المخالف للرسول مخالف لله.
”Kaum muslimin tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada
nash-nya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka yang
menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi Rasulullah, dan menyelisihi
Rasulullah berarti menyelisihi Allah” [Al-Fataawaa, 19/194].
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص له إلا أن يكون له نص آخر
ينسخه
”Mustahil umat bersepakat untuk menyelisihi nash (dalil), kecuali ada
nash lain yang me-mansukh-nya (menghapusnya)”
[I’lamul-Muwaqqi’iin, 1/367].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin berkata : ”Tidak mungkin
umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh.
Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas al-haq, maka tidak mungkin
bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab itu bathil. Orang yang
menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh, pasti ia berada di
atas kebathilan, dan umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan”
[Syarh Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul, hal. 467].
Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut.
Pertama, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah
menjelaskan seluruh permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan
agama kecuali Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskannya.
Kedua, nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang
dibutuhkan manusia. Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang
menunjukkannya, baik dalil yang jelas maupun tersembunyi. Ketiga,
sebagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia berdalil
dengan ijtihad atau qiyas. Sedangkan sebagian yang lainnya mengetahui nash-nya,
lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad seorang mujtahid itu bertepatan
dengan nash yang dijadikan dalil oleh mujtahid yang mengetahui
dalilnya.
2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’ kecuali ada
dalilnya.
3. Kadang ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita, tapi sesungguhnya di
sana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita, sedangkan bagi
ahlil-ijma’ tidak.
4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh bersandar pada ijtihad
atau qiyas.
Jika ada orang yang mengklaim ada Ijma’ yang tanpa dalil, maka tidak
lepas dari salah satu dari tiga kemungkinan : Pertama, penukilan
Ijma’ tidak benar. Kedua, dimungkinkan adanya dalil yang
me-mansukh-nya, kemudian para ulama bersepakat pada dalil yang
me-mansukh-nya, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul-Qayyim di atas.
Ketiga, dimungkinkan pada mereka ada dalil umum yang tersembunyi
bagi diri kita, sedangkan mereka mengetahuinya.
Jika Para Shahabat Berselisih Menjadi Dua Pendapat, Maka Jangan Menambah
Pendapat yang Ketiga
Jika para shahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum
muslimin untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh mendatangkan
ucapan atau pendapat baru yang tidak pernah dikatakan mereka, sebab kebenaran
beredar di antara mereka. Para shahabat tidak akan bersepakat dalam kesesatan,
dan Allah tidak akan membiarkan mereka dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan
dalil di bawah ini.
Pertama : Dalil Syar’iy
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى
الْحَقِّ، لَا يَظُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ.
Dari
Tsauban ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam
: “Terus-menerus ada kelompok dari umatku, yang mereka tetap nampak di
atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang tidak menolong mereka
sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti
itu” [HR. Muslim no. 1920].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ
كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.
Dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Sesungguhnya Allah akan mengutus dalam setiap seratus tahun
kepada umat ini seorang (mujaddid) yang akan memperbaharui agamanya” [HR.
Abu Dawud no. 4291].
Dalil
di atas menunjukkan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat di atas kebathilan,
dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang mengatakannya, atau seluruh ulama
tidak ada yang tahu, sebab semua itu bertentangan dengan dalil di
atas.
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإنهم أفضل ممن بعدهم كما دل عليه الكتاب والسنة، فالاقتداء بهم
خير من الاقتداء بمن بعدهم، ومعرفة إجماعهم ونزاعهم في العلم والدين خير وأنفع من
معرفة ما يذكر من إجماع غيرهم ونزاعهم.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
“Sesungguhnya
mereka (as-salafush-shaalih) lebih utama daripada orang-orang setelahnya
sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengikuti mereka
itu lebih baik daripada mengikuti orang-orang setelah mereka. Mengetahui Ijma’
mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu) lebih baik dan lebih
bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan perselisihan orang-orang selain mereka.
Karena Ijma’ As-Salafush-shaalih terjaga dari kesalahan. Apabila mereka
berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa diketahui
dari salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu ucapan mereka,
sehingga diketahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya”
[Al-Fataawaa, 13/24].
Kedua
: Amal Para Ulama’.
1.
Al-Imam
Abu Hanifah berkata : “Apabila datang berita dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, maka sepenuhnya kami menerimanya. Apabila datang berita dari para
shahabat Nabi, maka kami memilih salah satu ucapan mereka (apabila mereka
berselisih). Dan apabila datang ucapan dari para tabi’in, maka kami mengikuti
pendapat Al-Imam Malik bin Anas yang berkata dalam Al-Muwaththa’ : ‘Di
dalamnya terdapat hadits Nabi, ucapan para shahabat, para tabi’in,
pendapat-pendapat mereka’. Kadang aku berpendapat dengan pendapatku dalam
masalah ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari para ahli ilmu yang berada
di negara kami dan kami tidak keluar dari ucapan mereka”.
2.
Al-Imam
Malik berkata tentang kitabnya Al-Muwaththa’ : “Di dalamnya ada
hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ucapan-ucapan para
shahabat, tabi’in, dan pendapat-pendapat mereka, dan aku sungguh berbicara
dengan pendapatku atas ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari perkataan
ahli ilmu yang ada di negeri kami. Aku tidak pernah keluar daripendapat mereka
(beralih) ke yang lainnya” [Tatribul-Madaarik, 1/193].
3. Al-Imam
Asy-Syafi’iy berkata : “Ilmu itu ada tingkatannya. Pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kedua, Ijma’ yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, perkataan salah
seorang di antara shahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.
Keempat, perbedaan di kalangan shahabat. Kelima, qiyas terhadap
salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil selain Al-Qur’an dan
As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang di atas”
[Al-Madkhal ilaa Sunanil-Kubraa, hal. 110].
4. Al-Imam Ahmad berkata : “Apabila dalam suatu permasalahan ada hadits
Nabi, maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang dari para shahabat, juga
orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di
antara para shahabat, maka kami memilih salah satu ucapan mereka, dan kami tidak
keluar dari ucapan mereka kepada ucapan yang selainnya. Serta, apabila tidak
didapatkan ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya, maka kami memilih ucapan para tabi’in” [Al-Musawwadah, hal.
276].
5. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Barangsiapa menafsirkan
Al-Qur’an dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal dari para shahabat dan
tabi’in, maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap Allah, menyimpang dari
ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang semestinya, dan telah membuka
pintu bagi orang-orang zindiq lagi menyimpang (untuk menyelewengkan ayat-ayat
Allah dari tempatnya). Dan hal ini adalah suatu perkara yang telah jelas
kebathilannya dari agama Islam” [Al-Fataawaa, 13/243].
6. Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata : “Demikianlah, kondisi firqah-firqah
yang baru dalam syari’at terhadap syari’at. Di antara mereka men-ta’wil
syari’at dengan ta’wil yang bukan ta’wil firqah lainnya. Dan
setiap firqah menyangka bahwa yang di-ta’wil itulah yang dimaksud oleh
pemilik Syari’at, sehingga mereka memporak-porandakan syari’at, dan menjauhkan
dari keadaannya yang pertama” [I’lamul-Muwaqqi’iin].
Amal para ulama ini menunjukkan bahwa mereka tidak pernah keluar dari
pendapat para shahabat. Tetapi mengikuti Ijma’ mereka atau memilih salah satu
pendapat dari para shahabat jika mereka berselisih.[2]
[selesai – dengan sedikit tambahan dari Abul-Jauzaa’].
[1] Ada perkataan dari Al-Imam Asy-Syafi’iy sejenis dimana beliau
mengingkari adanya ijma’. Beliau berkata :
لستُ أقولُ ولا أحدٌ من أهل العلم : ((هذا مجتمعٌ عليه))، إلا
لِما تلقى عالماً أبداً إلا قاله لك وحكاهُ عن من قبلك، كالظهرُ أربعٌ، وكتحريم
الخمر، وما أشبه هذا، وقد أجِدُهُ يقولُ : ((المجمع عليه))، وأجدُ من المدينة من
أهل العلم كثيراً يقولون بخلافه، وأجِدُ عامَّةَ أهل البلدان على خلاف ما يقول :
((المجتمع عليه)).
”Aku dan juga tidak seorang ulamapun mengatakan : ’Hal ini telah
disepakati’, kecuali apa yang dikatakan oleh seorang ulama kepadamu dan ia
menceritakan dari ulama sebelummu, seperti shalat Dhuhur itu empat raka’at,
haramnya khamr, dan yang semisal dengannya. Dan aku kadang mendapatinya seorang
mengatakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya’; kemudian aku mendapati banyak ulama
Madinah yang menyelisihinya, dan aku juga mendapati banyak di antara penduduk
negeri-negeri menyelisihi apa yang ia katakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya”
[Ar-Risaalah, hal. 534-535, tahqiq & syarh : Asy-Syaikh Ahmad
Syaakir; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ini juga bukan merupakan penafi’an adanya ijma’ dari Al-Imam
Asy-Syafi’iy. Namun apa yang dimaksudkan beliau ini adalah penafian adanya ijma’
kecuali pada perkara yang telah diketahui secara pasti. Beliau mengingkari orang
yang bermudah-mudah untuk mengklaim adanya ijma’. Pengingkaran itu juga beliau
lakukan terhadap sebagian orang yang mengklaim ijma’ dimana klaim ijma’ tersebut
ternyata menyelisihi pendapat shahabat yang tidak ternukil adanya penyelisihan
dari shahabat yang lainnya. Mereka ingin membatalkan pendapat shahabat dan
membenarkan pendapat mereka yang bathil.- Abul-Jauzaa’.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, maka ia telah menentang Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam. Tidak akan terealiasi sikap ittiba’ yang sempurna
kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kecuali dengan mengikuti
jalan orang-orang mukmin, yaitu para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wa sallam. Konsekuensinya, tidak mungkin dibenarkan pendapat yang ketiga
jika hanya dua pendapat yang ternukil dari kalangan shahabat dalam satu
permasalahan. – Abul-Jauzaa’.
0 comments:
Post a Comment